Ketidaksempurnaannya sebagai Pesona yang Sulit Kupahami

Aku tidak bisa mendefinisikan perasaanku terhadapnya. Rasa suka? Rasa ingin memiliki? Rasa nyaman? Tidak ada yang terasa tepat untuk mendeskripsikannya. Namun, lagi-lagi, saat kami bertemu, ada sebentuk penerimaan yang aneh. Rasa penerimaan akan segala sifatnya entah baik atau buruk.

Saat dia memanggilku, saat dia memilih channel YouTube, saat dia bernyanyi, saat dia merajuk untuk makan mi di warkop, saat tertawa karena temannya menulis komentar di IG Live-nya, dan berbagai kejadian lainnya... sebuah kehangatan dengan takaran yang sempurna hadir di benakku.

Baca juga: Sepotong Waktu

Setidaknya kupikir demikian.

Aku tahu pertemuan kami sangatlah jarang. Bahkan sudah nyaris dua tahun kami berkenalan dan dekat sebatas maya. Tanpa tujuan mau ke mana. Anehnya, setiap kali bersamanya, rasa nyaman itu memelukku, membuat kantukku terbit.

Sumber: Victor Vasarely, Pinterest

"Aku harus kerja, Kak. Doain aja biar cepat lulus ya, udah nunda banyak semester," keluhnya, di antara percakapan kami. Namun darinya, mungkin aku bisa belajar menikmati hidup meski belakangan ini hidup tampaknya tidak ramah kepadaku.

"Ya udah, makanya dikerjain," tanggapku, tidak tahu lagi merespons apa.

"Udah, tapi ya gitu... kerjaan juga bikin capek." Dia mengembuskan napas frustrasi. Namun dalam sekejap dia mengambil remote TV dan menonton YouTube di kamarku.

Lagi dan lagi, percakapan kami terasa tanpa arah.

Baca juga: Gerimis

Sampai akhirnya dia bertanya, "Kamu biasa tidur jam berapa?"

"Sekitar jam dua," jawabku.

"Malem amat, eh pagi amat!" katanya. "Bukannya kamu kerja pagi, ya?"

"Ya begitulah."

"Ya udah sekarang mending tidur aja," katanya. 

Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11:40. Bahkan masih terlalu dini untuk terlelap.

Dia bangkit dari duduknya lalu ke kamar mandi untuk berganti baju tidur, lalu aku ikut melakukannya setelah dia selesai ganti baju. Setelah cuci muka dan memakai skin care seadanya, kami merebahkan diri di kasur.

Dan ketika itulah perasaan yang terkurung lama di diriku, mulai terbuka dan akhirnya terbit. Perasaan nyaman nan aneh, sekaligus familier dan menyenangkan. Aromanya bisa kuendus karena kami hanya berjarak sekian milimeter menggelitik saraf-sarafku, mengoneksikannya dengan memori-memori lama yang aku sendiri tidak kupahami.

Lampu kumatikan. Dia mulai memosisikan tubuhnya ke arahku. 

Baca juga: PANGKOH 

Bukan, bukan nafsu keduniawian yang membimbingku untuk merespons. Justru rasa ketakutan yang entah dari mana mencuat memimpinku untuk menyentuh jemarinya. Saat itulah dia merespons untuk membalas usapanku. 

Dia menggenggam tanganku.

Kemudian aku menunduk, sedikit maju untuk merasakan eksistensinya. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang jarang terjadi akan keberadaannya.

Dia ikut memajukan tubuh sampai akhirnya kami berpelukan. Tubuh kami sudah tidak memiliki jarak.

Semestinya dari posisi itu kami kesulitan napas dan tidak nyaman.

Namun anehnya, kami tertidur.

Baca juga: Kaubilang

Tidurku tidak sepenuhnya nyenyak karena sedikit-sedikit terbangun karena terganggu dengan kerasnya nafsuku. Namun, aku lebih memilih untuk memanfaatkan waktu yang rasanya akan sulit kuulang.

Kemudian aku sadar. Ketidaksempurnaan malam ini rasanya sangat adiktif. Aku ingin mengulanginya terus-terusan.

Namun, bisakah itu terjadi?

Benakku yang kusut akhirnya mereda dengan tangan yang terjulur ke puncak kepalaku. Dia mengusap-usap waktuku tepat waktu subuh.

"Aku harus pulang, Kak," gumamnya.

Saat itulah aku sadar ketidaksempurnaan malam ini sudah berakhir, menyisakan rasa nelangsa yang tidak semestinya ada di hatiku.

Post a Comment

2 Comments

Anonymous said…
Que sera sera ❤️
Hi, aku Utha! said…
Kalo komen pake nama dong, sayang... :p