Kaubilang

Kaubilang, cintamu tidak pernah main-main padaku—perasaanmu terhadapku serius. Namun, alasanmu pergi adalah karena hubungan kita yang sebercanda itu bagimu. 

Kaubilang, kita adalah teman hidup. Hal itu yang selama ini membuatku bertahan, beranggapan kalaupun nantinya cintaku luntur, kita akan tetap menjadi pasangan sekaligus teman, untuk menyongsong kehidupan yang terasa selalu kejam untuk kita. Namun, ternyata itu hanya luapan emosi sesaat yang kauucapkan padaku. Bahkan kaubilang demikian saat tidak menginginkanku lagi. Dua kata yang benar-benar mengoyak-ngoyak perasaanku.

Kaubilang, kau tidak bisa hidup tanpa aku. Bahkan saat kaubilang demikian, kau membentur-benturkan kepalamu ke dinding. Kau bilang kau tidak mau kehilanganku. Aku masih ingat air matamu itu. Aku masih ingat saat egoku melambung tinggi, saat tebersit pemikiran untuk meninggalkanmu. Bodohnya, yang kupahami saat itu aku merasa perasaanmu memang sedalam itu untukku. Namun, ternyata perasaanmu fana. Kaubilang tindakanmu itu hanya sebatas respons sesaat. Saat itu kau hanya takut mainanmu hilang, kau hanya takut mesin seks yang bisa kaumainkan tidak ada sisimu.


Sumber: YouTube


Kaubilang, aku tidak boleh meremehkan diriku sendiri. Namun, ternyata ideku yang selalu kuceritakan padamu karena saat itu kaulah orang yang paling kupercaya, justru merasa gagasanku hanyalah ide bodoh yang tidak masuk akal. Aku bodoh sekali saat bisa memercayai perkataanmu yang selalu mendukungku. Aku benar-benar tidak sadar sepandai itu kau memanipulasi diriku. Kau membuat kepercayaan diriku jadi kerdil, jadi tidak percaya dengan apa yang bisa kulakukan.

Kaubilang, semua akan baik-baik saja saat hidupku berada di titik terendah. Kaubilang bahwa kau akan selalu mendukungku bahkan ketika aku jatuh. Dan saat itu memang kaulah satu-satunya alasanku bertahan. Namun, ternyata itu hanya kebohongan karena aku yang terpuruk tampak menggelikan di matamu dibandingkan sosok yang selalu menerbitkan senyummu, yang bisa membuatmu makin mahir berbahasa asing. Kau bertindak demikian dengan alasan persahabatan, tapi yang kutahu kau hanya menampik perasaan yang sudah terbit sejak dia menjadi tutormu. Bahkan, untuk apa sekarang kau sekamar dengannya padahal dia jelas-jelas tidak punya pekerjaan tetap di Jakarta? Untuk apa kau berbohong padaku saat itu? Untuk apa kau membelanya mati-matian saat kecemburuan membakarku kala itu?

Kaubilang, kau suka akan kesendirian. Apa saat itu kau menuduhku sebagai seseorang yang mencuri waktu tenangmu? Bukankah dulu kau yang mengajakku ke dalam duniamu yang membosankan itu? Kalau memang kau benar-benar menyukai keheningan seperti yang kaukatakan, untuk apa tidak lama setelah kita menggunting ikatan itu kau justru satu kamar dengannya? Omong kosong apa yang hendak kaukatakan kepadaku selama ini?

Kaubilang, kau ingin memperbaiki persahabatan kita setelah hubungan ini usai. Namun, apakah kau tidak sadar perlakuanmu padaku itu seperti kau memperlakukan sampah menjijikkan sebelum kita memutuskan berpisah? Kalau kau ingin hal yang baik ketika semua berakhir, kenapa kau malah membuangku begitu saja? Kenapa tidak kaubenahi tingkahmu dan menjadi pengecut? Atau mungkin uluran persahabatan itu hanya sekadar kamuflase alih-alih kau takut kalau hubungan kita sampai didengar orang lain? Bukankah begitu? Sampai-sampai komentar yang terasa biasa saja kauhapus? Karena lingkaran pertemanan barumu bersinggungan dengan kakakmu, lantas kau takut terendus? Kau terlalu mencintai dirimu yang sedang dilahap api aktualisasi. 

Kaubilang, perspektif tiap orang berbeda dan tiap orang punya alasan memilikinya. Namun, sungguh menggelikan bagaimana perspektifmu berubah-ubah bak bunglon hanya saat bertukar pikiran dengan orang yang kaupikir dekat denganmu. Entah kau memang terbuka akan perspektif baru, atau kau sekadar manusia plin-plan yang tidak punya pendirian. Kau hanya mendengar apa yang mau kaudengar. 

Selama ini aku turkungkung dalam kotak kaca yang kaubuat. Tidak bisa bergerak dengan rutinitas yang kauciptakan, patah dengan kata-katamu yang seolah mendukungku padahal kaulah penyebab asaku rontok. Menyedihkan sekali saat mendengar kau merasa bebas setelah beberapa hari tidak bersamaku saat itu. Apakah aku pernah mengurungmu? Atau sebaliknya? Rasanya aku baru sadar ternyata kau memang bosan. Bukankah sebelum bersamaku kau juga merasa seperti demikian? Aku baru menyadari bahwa betapa manipulatifnya dirimu, betapa lihainya kau bermain dengan kata-kata.

Bahkan alasanmu pergi sama sekali jauh dari logika ketika kita memulai hubungan ini, bahkan aku pun tahu kau berbohong saat bilang waktu akan menjawab. Bahkan baru satu bulan pun makin kelihatan siapa yang kaukejar, siapa yang membuatmu tersenyum. Kau adalah buku yang terbuka untukku, tapi kau tidak pernah mau kubaca. 

Jadi, cukup. Cukuplah aku dengan apa yang kaubilang, dengan kata-kata bohongmu yang membuatku terjebak. Sekarang aku begitu lega karena ternyata memang dengan cara inilah aku tahu betapa munafik dan menjijikkannya dirimu. Aku memang sosok yang tidak sempurna, yang memiliki cacat, yang babak belur dan penuh bopeng. Namun, setidaknya aku takkan pernah memperlakukan seseorang seperti kau memperlakukanku karena tahu betapa tidak nyaman dan menyakitkannya hal itu. Aku sangat bersyukur bisa lepas darimu. Seperti yang kubilang, kita berdua sama-sama tidak berhak memiliki hubungan satu sama lain. 

Terakhir, ada yang ingin kubilang: selamat akan hubunganmu, selamat akan duniamu yang seolah baru. Suatu saat, kau akan sadar sosok seperti apa yang telah kausakiti ini.

Post a Comment

0 Comments