Sepotong Waktu

“Kupikir kamu membatalkannya lagi,” ujarku sambil menatapnya lekat-lekat.

“Nggak kok. Lagi pula, aku sudah di sini. Berarti aku nggak ingkar janji lagi, kan?” balasnya sambil meletakkan ransel di kursi samping nakas. Dia menatap sekeliling. “Kamar ini termasuk mewah ya, Mas.”

Aku hanya mengedikkan bahu, membiarkannya asyik menjelajah sudut-sudut kamar hotel lewat pandangannya. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan kedatangannya. Aku memesan hotel bintang lima ini memang untuk diriku sendiri—lebih tepatnya karena aku berulang tahun besok. Dia pun tidak tahu akan hal itu. Aku sekadar iseng menghubunginya, apakah dia berkenan datang atau tidak.

Sumber: Casper

Setelah mengobrol sebentar, aku langsung berencana untuk berlama-lama di kamar mandi, ingin memanjakan diri untuk berendam air panas sambil memutar lagu-lagu yang bikin relaks. Sementara itu, dia bilang mau berenang. Aku enggan ikut dengannya karena aku memang tidak suka—juga tidak bisa—berenang. Kami pun sibuk melakukan kegiatan masing-masing. Ketika bersiap dengan pakaian yang mau kubawa ke kamar mandi untuk ganti, aku bisa mendengar bunyi berdebum, tanda dia sudah ke bawah untuk berenang.

Namun, belum sempat aku masuk ke kamar mandi, dia kembali ke kamar sambil cemberut. “Menyebalkan banget. Tiba-tiba hujan,” gerutunya.

Aku hanya terkekeh, lalu bilang padanya lebih baik menungguku mandi—sekaligus berendam—dan setelah itu gilirannya.

Baca juga: Sakura

“Iya deh,” katanya, meski aku bisa mendengar nada kalau dia masih tidak terima dengan cuaca yang mematahkan rencananya berenang.

Aku langsung ke kamar mandi dan berendam. Wah, menyenangkan sekali rasanya. Sudah berapa lama ya aku tidak berendam air panas begini? Rasanya sudah bertahun-tahun. Tidak, aku tidak berlebihan. Di rumahku kan kamar mandinya model kuno dengan toilet jongkok. Bermalam di hotel pun rasanya tidak pernah yang memiliki fasilitas ini—terakhir kali bermalam rasanya sudah setahun lebih dan memang hotel standar saja.

Setelah mandi, aku mengenakan kaus dan celana pendek. Kemudian aku langsung meringkuk ke tempat tidur dan bersembunyi di balik selimut tebal. Sensasi setelah mandi air hangat lalu ditabrak oleh suhu dingin kamar memang terasa menyenangkan, apalagi kalau aku melanjutkannya dengan tidur.


Ketika nyaris tertidur, aku mendengar seseorang bernyanyi. Yah, dia. Ternyata suaranya cukup merdu. Aku jadi tidak bisa memejamkan mataku karena pilihan lagunya yang familier, yang mau tak mau membuatku ikut bersenandung.

Tidak lama kemudian, dia selesai mandi. Dia keluar dari kamar mandi dan sudah berpakaian lalu ikut meringkuk di ranjang, di sebelahku. 

Kami pun bercakap-cakap. Perbincangan kami memang tidak dalam, tapi rasanya cukup menyenangkan punya teman mengobrol. Meski obrolannya ringan, terkadang terselip hal-hal yang sebelumnya tidak pernah kami ungkap dan sifatnya pribadi.

Yah, justru itulah pembicaraan dengannya terkesan berbeda. Tidak serius, tapi juga tidak bisa dibilang dangkal.

Baca juga: Kaubilang

Dengan jarak yang sedekat itu dengannya, aku bisa mengendus aroma yang membuat saraf-sarafku relaks. Aroma menenangkan karena terendus samar-samar dan tidak menyengat.

Entah karena intuisi atau bukan, aku mengusap-usap puncak kepalanya. 

“Sudah lama nggak ada yang bersikap kayak begini deh,” ujarnya sambil tersenyum.

“Aku pun demikian. Rasanya sudah lama nggak ada yang meresponsku kayak begini,” balasku, ikut tersenyum.

Lalu entah bagaimana aku memeluknya dari belakang, menghidu wangi menenangkan itu lagi, tapi langsung dari sumbernya. Apakah itu bau dari sabun atau sampo yang dipakainya ketika mandi? Rasanya tidak mungkin karena kami sama-sama tidak membawa peralatan mandi dan memakai sampo hotel. Wangi sabun hotel lebih ke sitrus, sementara samponya terasa seperti wangi teh hijau premium. Mungkin dia memakai losion? Entahlah, apa pun itu, aku suka.

Baca juga: Perkara Cinta

“Terima kasih ya,” ujarnya tiba-tiba, masih dalam posisi aku memeluknya dari belakang.

Aku tidak tahu untuk apa ucapan terima kasih itu. Bukankah seharusnya aku yang mengucapkan kalimat itu untuknya? Namun, aku tidak mau ambil pusing. Aku semakin mendekatkan hidungku ke arah lehernya—menikmati aroma itu, menghirupnya dalam-dalam.

Kemudian kami tertidur.

Dan kurasa saat itu adalah tidurku yang paling nyenyak dalam dua tahun terakhir.

Post a Comment

0 Comments