I'm Done Taking Stock

Sejak November, perasaanku diliputi kegelisahan karena masalah datang bertubi-tubi, seakan ingin menelanku hidup-hidup. Aku mencari pelarian dengan pergi ke luar kota maupun luar negeri dengan sisa-sisa uang yang kumiliki, berusaha mencari pengalihan akan kesusahan yang kurasakan ini. Ya, aku melarikan diri, betapa bodohnya tindakan itu. Dan pelarian diri yang kulakukan adalah saat bulan Januari, saat itu kupikir setidaknya ada aktivitas di luar kota yang aku lakukan, fokus sesuatu yang masih bersifat produktif. Namun, bertolak dari sana, aku mesti menghadapi rentetan masalah itu lagi. Masalah yang tidak tahu kapan selesainya. Februari dan Maret adalah titik balik hidupku yang terasa seperti neraka. Ketidakpastian, rasa cemas, masalah-masalah besar, merasa dipermainkan, dan segala hal buruk terjadi secara bersamaan. Bahkan bisa kukatakan sampai sekarang aku masih berusaha bertahan hidup menghadapi semuanya. Ya, hidup makin menyeretku jatuh terjerembap dalam jurang kelam yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Titik terendah dalam hidup yang kupikir pernah kulalui beberapa tahun lalu adalah tempat paling dalam ternyata belum ada apa-apanya dengan kondisi saat ini yang berkali-kali lipat lebih dalam, lebih menukik, lebih terasa sakitnya, dan lebih menghunjam seluruh diriku hingga aku membiru. 

Aku babak belur.

Bahkan masalah-masalah yang kuhadapi makin terasa berat, dan rasanya aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Dan yang paling membuat pikiranku tidak keruan adalah orang yang paling kupercaya—orang nomor satu yang merupakan manusia favoritku yang kuanggap sebagai rumah dan kupikir akan membuatku bisa menghadapi kejamnya hidup—justru membuangku dan menganggap eksistensiku adalah sampah mengganggu yang harus lekas dienyahkan. Bahkan dengan mudahnya dia mempermainkan perasaanku, menyeret-nyeretku pada kondisi yang membuatku tertekan padahal dia pun tahu apa yang sedang kuhadapi. Alasannya sangat bisa dimaklumi: dia ingin fokus pada ujian, ingin fokus pada hidup, ingin segera mengaktualisasikan diri. Sejujurnya aku tidak keberatan. Aku sangat mendukung keputusan itu. Aku tidak pernah mau jadi alasan seseorang mematahkan impiannya. Namun, dari sikapnya pun aku sadar aku hanya benalu yang menggerogoti pikirannya, sekadar lintah yang mengisap darahnya sampai-sampai dia tidak bisa fokus mengejar impiannya jika ada di dekatku. Aku bagai rutinitas menyebalkan yang mesti dia lalui tiap harinya. Keadaanku sungguh sangat menyedihkan karena tidak lebih dari sosok yang tidak dianggap.

Aku bahkan yakin keadaan mentalku tidaklah baik. Pada pertengahan Februari, aku sempat pergi ke psikolog karena yakin ada yang tidak beres dengan mentalku. Perasaanku selalu tidak keruan, mana detak jantungku selalu naik dan rasanya begitu tidak nyaman tiap hari. Dalam pertemuanku dengan psikolog, dapat kuketahui masalah paling utama adalah karena orang yang paling kupercaya telah membuangku dan menganggapku adalah sesuatu yang membuat hari-harinya terganggu. Aku adalah benalu dalam hidupnya yang sedang dalam masa transisi mengejar impian.


Sumber: Artstation


Dan aku takkan pernah lupa, bahwa tahun kabisat adalah tahun yang kubenci, tahun penanda bahwa selama ini aku telah dibohongi dan diperbudak oleh pikiranku sendiri. Dan pada tanggal yang ada empat tahun sekali itu, semuanya meruncing. Ya, singkat kata, dia tidak menganggapku seseorang yang berarti lagi di hidupnya. Dia hendak melepasku. Kemarin dia sengaja bertindak demikian karena memang aku bukanlah sosok yang dia perlukan lagi. Aku dan masalahku ibarat air selokan yang mesti dibersihkan dari hidupnya yang sedang menukik tajam terbang ke atas. Dia tidak ingin ada noda di dalam masa-masa kebangkitannya itu. Dia hanya perlu orang-orang terbaik yang bisa menunjang apa yang ingin dia raih: sama-sama punya ambisi menjadi yang terbaik, sama-sama punya pencapaian hidup dengan karier, juga aktualisasi diri yang mumpuni. Sementara aku? Ya, aku adalah manusia yang penuh dengan masalah yang rasanya tidak pantas bersanding dengan dirinya.

Dan aku hanya bisa bertahan.

Bertahan dengan rasa sakit akan pengkhianatan yang terasa tanpa tedeng aling-aling, tanpa tanda-tanda sebelumnya. Bertahan dengan rasa sakit yang belum kusembuhkan karena masalah yang terus-menerus menghunjam, lalu dikoyakkan lagi dengan luka akan rasa sakit kehilangan orang yang selama ini kupercaya. Kami tidur di bawah langit-langit yang sama selama kurang lebih dua tahun tujuh bulan, lalu dua bulan semuanya berubah. Kadang hidup bisa sebercanda itu.

Kemudian aku tetap berusaha bertahan. Meski aku sendiri sangatlah rapuh. Akulah beling yang mudah pecah. Dan ternyata aku, beling yang sangat ringkih ini, dijatuhkan oleh orang yang kupercaya untuk menggenggamku, dari tempat paling tinggi yang pernah kusinggahi. Hasilnya? Aku hancur berkeping-keping. Aku sendiri tidak tahu bagaimana cara merekatkan kembali diriku seperti semula ketika masalah lainnya pun masih menindihku dengan massa yang begitu berat.

Kegamangan itu terus menampar-namparku. Namun, saat itulah aku baru menyadari bahwa selama ini aku pun dikelilingi orang-orang baik. Orang-orang yang tidak pernah melihatku dengan derajat berbeda. Orang-orang yang paham bahwa aku yang babak belur, aku yang patah dan tidak sempurna, adalah manusia yang juga berhak mendapat kebahagiaan.

“Kamu punya hal lain, Tha… termasuk punya aku.” Seseorang, bahkan dengan segala hal baik yang melekat pada dirinya, seseorang yang sudah menjadi sosok kakak perempuan dan mentor untukku,  mengatakan itu padaku. “Gak perlu mikirin hal lain. Masalah-masalah lainnya itu gak usah kamu pikirin dulu. Sekarang kamu fokus sama diri kamu. Aku cuma mau ingetin… sebelum kamu kenal dia, kamu bisa menjalani dan menghadapi kehidupan kamu dengan baik meski ada banyak cobaan dan rintangan. Dan sekarang, kamu pun juga akan baik-baik aja meski kehilangan sosok yang kamu percaya. Tapi sebelum kamu baik-baik aja, aku berdoa semoga kamu bisa melewati masa-masa sakitnya dengan baik. You’re stronger than you think. Tha, be strong.”

Kadang hidup memang aneh, ya. Sosok baik ini adalah sosok yang banyak dipuja dan dikenal orang, tapi dia baik kepadaku yang bukan siapa-siapa. Sementara itu, orang yang kupercaya gila-gilaan, menganggap eksistensiku hanya sebatas parasit yang bisa menggerogoti pikirannya yang ingin fokus mengejar impian. Yang mana rasanya menyakitkan setelah apa yang telah kami alami bersama.

Bahkan saat aku terpuruk, semua orang yang ada di dalam daftar telepon teratasku, meresponsku, ikut panik dengan aku yang tidak pernah menampakkan sisi lemahku ini. Saat itu, aku pun sadar aku juga sudah jadi sosok berengsek yang selama ini telah melupakan mereka. Hanya ketika aku terjerembap saja aku baru mau menghubungi mereka. Bahkan aku mengatakan hal demikian pada mereka, meminta pemakluman atas aku dan keberengsekanku. Dan apa yang mereka respons jauh dari prasangkaku, “Tha, kami tahu kamu. Kamu bukan orang kayak gitu. Kamu bukan sekadar kenalan yang ada maunya. Kalaupun kamu gak sadar, banyak kebaikan yang udah kamu kasih buat kami. Jadi gak mungkin kami menganggap kamu ada maunya.”

Banyak sekali hal yang membuatku menangis karena terlalu sensitif. Bahkan kata-kata itu saja membuatku menangis. Rasanya sampai sekarang aku merasa tidak berhak mendapatkan banyak kebaikan dari mereka. Meski dalam hati aku masih tidak percaya sosok yang kupercaya itu membuangku dengan mudah dengan alasan yang mestinya sejak awal dia katakan—karena tidak mungkin kami memulai hubungan ini jika alasannya demikian. Kalau memang alasannya demikian untuk berpaling, buat apa hubungan ini ada? Namun, ya, sedikit banyak aku paham, tapi tidak perlu kubahas dengan detail. Biarkan saja semua Tuhan yang atur.

Lagi pula, aku sedang belajar bagaimana semestinya aku mencintai diriku sendiri. Mungkin selama ini aku salah selalu menggantungkan asaku kepadanya. Mungkin aku terlena dengan kebaikan-kebaikannya yang ternyata hanya sikap artifisial yang sebenarnya enggan dia lakukan meski dia selalu bilang dia tidak main-main akan perasaannya. Mungkin selama ini aku hanya sebatas teman tidur, badut di kala dia gundah, dan segala hal yang bisa mengisi kebutuhan dasarnya, yang mana tidak lagi bisa kupenuhi sekarang karena aku dan masalahku hanya membuatnya stres. Yah, dia pun bilang, “Aku happy-happy aja kok.” Jadi ya, selamat atas kebahagiaan yang kata dia sudah ada itu.

Sekarang aku mesti memikirkan diriku sendiri, belajar memahami apa yang kuinginkan—yang jelas bukan berada lagi di sisinya. Mungkin aku terlampau sok tahu karena sudah bersamanya lebih dari dua tahun. Mungkin aku tidak mengenalnya seperti aku mengenal teman dekatnya yang memahami bagaimana sulitnya meraih impiannya itu. Biarlah, setidaknya ada pelajaran yang kuambil, yaitu aku tidak mau lagi jatuh pada seseorang seperti aku pernah jatuh kepadanya. 

Bodohnya, air mata sering kali tergoda untuk keluar saat aku tidak punya aktivitas. Aku tidak punya kegiatan yang bisa kuisi. Hari-hariku kosong tanpa jadwal terencana. Sampai akhirnya seorang kawan melakukan percakapan denganku dan berkata, “Tha, kamu kuat. Kamu tuh hebat bisa melewati banyak hal sampai sekarang. Entah apa kalau aku yang berada di posisi kamu. Karena kamu sekuat itu, Tha, makanya Tuhan kasih cobaan ini buat kamu. Jadi, demi diri kamu sendiri, demi aku, juga demi teman-teman lain yang sayang sama kamu, bertahan ya. Aku tahu apa yang dulu pernah kamu lalui. Dan kamu bisa baik-baik aja, kan? Sekarang mungkin Tuhan sengaja kamu berada di posisi ini untuk jadi orang yang lebih baik lagi. Mungkin nanti kamu akan bersinar lagi, Tha, meski kita gak tahu kapan itu terjadi dan berapa lama perjalanannya.”

Lagi-lagi badai bergejolak di benakku. Perasaan bersalah kenapa banyak orang yang selama ini luput dari diriku, yang masih percaya kalau aku mampu berdiri. Beberapa teman lama mungkin tahu kisah-kisahku dulu yang memang telah bisa kutertawakan sekarang saat mengingatnya lagi. Mungkin temanku benar, mungkin suatu saat nanti aku akan tertawa akan kebodohanku saat ini, betapa rapuh dan lemahnya aku sekarang. Meski aku tidak tahu kapan itu akan terjadi.

Ya, mungkin nanti.

Namun, aku masih belum bisa berdiri tegar. Dengan pandemik yang membuat orang cemas, aku pun bertanya-tanya, apa bisa aku bertahan? Dengan segudang masalah yang kurengkuh, ditambah dengan dunia yang terasa berbeda dengan adanya pandemik ini, keraguan itu terasa nyalang menerkamku di tiap-tiap hariku, memberikan racun ke dalam pikiranku yang membuatku tidak tenang.

Keraguan itu terasa seperti teman lama menyebalkan yang datang di saat yang tidak kuinginkan.

Apakah aku bisa?

Apakah aku benar-benar bisa bangkit?

Sekarang saja untuk berjalan sangatlah sulit. Merangkak pun rasanya tidak bisa.

Lantas, bagaimana?

Lagi-lagi aku diingatkan teman-temanku yang baik, para sahabat yang selalu terasa ada meski mereka berada di tempat yang jauh. Aku memang tidak punya apa-apa sekarang, tapi aku punya mereka. Dan saat kepercayaan mereka terarah padaku, semestinya itu sudah cukup, kan?

Justru karena aku tidak punya “apa-apa”, semestinya aku tidak perlu takut. Kalaupun nanti jatuh dan porak poranda lagi, aku takkan kehilangan “apa-apa”. Ya, kan?

Hari-hari ini kulewati dengan begitu stagnan. Yang kupikirkan kini adalah bagaimana caranya aku bertahan tiap harinya. Apa yang harus kubeli untuk satu minggu? Cukupkah bekalku untuk beberapa hari ke depan? Apa yang mesti kulakukan agar tetap produktif? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu bercokol di hatiku. Rasanya melelahkan karena aku tidak punya apa-apa. Bahkan kadang seharian aku cuma menghabiskan waktu untuk membaca dan menonton—jauh dari kata produktif. Namun, aku selalu yakin dengan kata-kata teman baikku, “Kamu harus fokus ke diri kamu dulu.” Aku harus membuat aku berdamai dengan diriku sendiri meski rasanya amat sangat sulit.

Jadi, ya, aku akan fokus pada diriku, pada kondisiku, pada keadaanku. Awalnya aku selalu bodoh, bertanya pada temanku apa yang orang itu rasakan karena aku tahu dia pun sedang tidak baik-baik saja. Namun, temanku merespons, “Pikiran dia ya… beyond our control. Lagi pula, udah bukan urusan kamu.”

Benar juga, ya.

Buat apa aku selalu memikirkan kondisinya kalau dia saja tidak lagi memikirkanku? Bahkan sebelumnya aku dianggapnya sampah. Dianggap sebagai teman saja tidak! Betapa bodohnya aku. Dan bodohnya lagi, dia memintaku untuk tetap menjadi temannya. Dan responsku pun mengatakan mungkin aku bisa menjadi temannya.

Beberapa teman bilang betapa aku sangat naif dan aku. Namun, aku tidak bisa menyangkal empatiku yang selalu jadi alarm di hidupku. Ketika dia bilang aku terlalu berpikir orang akan bertindak seperti apa yang ada di pikiranku, aku menganggap hal ini adalah kelemahanku. Namun, saat kupikir masak-masak, inilah kelebihanku. Dan aku menerimanya. Bagaimana aku paham dunia diisi oleh banyak orang dengan persepsi berbeda. Dan aku bisa memahami itu dengan rasa empati. Ini bukanlah kekurangan. Ini kelebihanku.

Bagaimanapun, aku tetap berdoa semoga dia baik-baik saja. Tidak lebih, tidak kurang.

Dan sekarang, aku sudah cukup yakin untuk bilang kalau berusaha memulihkan hidupku—meski tertatih, meski cedera di hatiku belum pulih.

Dan aku siap. Siap untuk berperang lagi.

Untuk diriku.

Juga untuk teman-teman baik yang memercayakan banyak hal padaku.

Setidaknya, aku sudah mulai mencintai diriku yang penuh dengan ketidaksempurnaan ini. Setidaknya, kalaupun masih lama, aku akan menikmati proses yang kujalani meski aku tidak tahu seberapa lama aku harus tertatih menuju puncak yang terlalu silau saat aku mendongak.

Dan aku sudah sadar bahwa aku tidak sendirian. Ada banyak orang yang sedang bertahan, bersiap dengan medan perangnya masing-masing. Juga, mungkin ada dari kalian yang sedang merasa jatuh, merasa sakit hati dengan dunia yang seolah tidak adil...

Tidak, kita tidak sendirian. Kamu pun punya aku. Aku yang babak belur dan tidak sempurna. Kita bisa menjalani hidup ini. Jangan menyerah, ya. Jangan pernah menyerah. Dengan hidup, kita bisa melakukan banyak hal. Mungkin sekarang belum saatnya. Sama seperti kamu, aku pun rasanya sulit percaya akan adanya hari ketika kita bisa kembali berdiri dengan tegap dan percaya diri... tapi kita harus memercayainya.

Kita harus bertahan. Aku harus bertahan.

Dan ya, I’m done taking stock. I hope you too.

Post a Comment

0 Comments