[47] Orbit Tiga Mimpi by Miranda Malonka





Alejandro, terobsesi dengan benda-benda angkasa dan bertekad menang olimpiade astronomi. Tapi, bagaimana dia bisa menang kalau pelajaran matematika justru membuatnya merana? Asterion, vokalis band yang selalu cerah ceria dan tidak pernah menangis. Tak ada yang tahu dia menyembunyikan banyak rahasia di balik suara merdunya. Angkara, senang menghabiskan waktu untuk merenung dan menulis puisi tentang bintang-bintang. Tapi, seluruh dunia ingin dia mengubah gaya menulisnya. Ketiga orang yang sangat berbeda ini dipersatukan oleh kelompok belajar yang dipilih sesuai urutan absensi kelas. Meski awalnya canggung, ketiganya menemukan diri mereka mengorbit satu sama lain. Namun, ketika perasaan saling suka melesat bagai meteor, ditambah keresahan atas identitas diri, akankah orbit mereka terus berputar atau malah hancur lebur?


Orbit Tiga Mimpi, Miranda Malonka
Gramedia Pustaka Utama, 380 halaman
ISBN 9786020332048


* * * *


Orbit Tiga Mimpi menceritakan tentang tiga siswa SMA yang memiliki tiga impian berbeda. Ale menyukai astronomi tapi nggak mahir dalam berhitung. Berkali-kali cowok itu memungkiri bahwa dia lebih ahli dalam biologi padahal dia begitu mencintai pelajaran itu. Aster si supel menyukai aliran musik band miliknya dan selalu membantah bahwa range vocal dan karakter suaranya nggak cocok untuk band tersebut. Kara selalu menyukai puisi dan fiksi, juga memiliki kecintaan akan astronomi. Sinopsis di kover belakang buku sudah dengan tepat menggambarkan isi dari novel bergenre young adult ini. Jadi, mungkin para pembaca sudah tahu akan ke mana arah cerita ini menuju.

Miranda Malonka menjadi salah satu novelis yang aku tunggu-tunggu karyanya. Apalagi saat sang editor bilang tahun ini dia akan menerbitkan novel lagi, aku makin penasaran. Dan terbayar lunas saat membacanya!

Aku suka dengan penggunaan sudut pandang orang pertama secara bergantian di novel ini. Terasa pas dengan karakter-karakter yang dibuat. Ale adalah Ale, Aster adalah Aster, dan Kara adalah Kara (ini agak menjiplak kata-kata di ucapan terima kasih novelnya). Dan dari ketiga karakter yang dibuat, favoritku adalah Angkara slash Kara. Cewek itu ditampilkan memiliki pikiran yang bercabang-cabang, tapi tahu apa yang dia inginkan, berbeda dengan Ale dan Aster. Karakter Ale sendiri di sini juga nggak kelihatan terlalu perempuan. Yah, biasanya pengarang perempuan akan terjebak membuat karakter cowok dengan sudut pandang orang pertama. Meski demikian, aku masih nggak terlalu menyukai inkonsistensi kata-kata di tiap sudut pandang. Dan agak mengganggu (meski sebenarnya hanya masalah teknis). Pemakaian sudut pandang orang pertama secara bergantian ini mengingatkanku pada novel-novel Winna Efendi.

Tiap-tiap karakter memiliki latar masing-masing. Aku sangat suka dengan keluarga Ale yang keturunan Spanyol, terlebih dengan si cablak nan cerdas Alan, adiknya. Aku juga suka dengan kausalitas sikap Aster yang sangat cerita dan gemar tersenyum, juga dengan kakaknya, Lena, yang begitu menjaga Aster. Dan, aku suka banget dengan karakter kuat Kara yang merupakan anak piatu tapi nggak pernah mengeluh dengan keadaan. Ditambah lagi dengan adanya anggota band Ceculun yang buat rame.

Dari plot cerita, aku juga dengan mudah menebaknya. Klu yang ada di prolog benar-benar membuatku dengan amat mudah menebak akhir cerita. Yah, tetap saja aku mengikuti cerita perjalanan tiga siswa yang ditakdirkan berteman untuk menemukan jati dirinya masing-masing ini. Dan yang aku suka, sisipan soal astronomi. Penulis kelihatan begitu mendalami ilmu ini, bukan sekadar sisipan belaka. Akhirnya aku menemukan novel dengan sisipan astronomi yang oke selain Starlight karya Dya Ragil (omong-omong, novel terbarunya juga bakal terbit tahun ini!).

Dan bagiku, kekurangan dari novel ini adalah latar tempat. Meski dibuat abstrak dan sering kali disebut angin laut, dekat dengan pantai, dan ada nama pulau tempat Aster berlibur dengan Lena, aku nggak bisa merasakan sekolah seperti apa, tebing seperti apa, bahkan rumah seperti apa yang karakter-karakter ini singgahi. Andai saja penulis membiarkan pembaca merasakan seluruh indranya ikut dalam novel ini, mungkin aku akan berikan lebih dari empat bintang. Namun, empat bintang saja sudah bagus banget kan artinya?

Kenapa aku tetap memberikan empat bintang? Karena cerita ini terasa begitu dekat dengan pengalamanku dulu. Tentang bagaimana menemukan diri sendiri, bagaimana perasaan sudah terbit begitu saja dengan sahabat, meski kadang menyangkal hal itu karena kebiasaan bertemu yang bisa dikatakan gradual, resah karena hal-hal kecil, dan bagaimana sulitnya mendefinisikan arti kata hidup yang sesungguhnya. Bahkan di novel ini aku sering kali menyetujui opini-opini karakternya (yang mungkin juga opini pribadi penulis) tentang sistem yang kadang melunturkan siapa sebenarnya kita.

Untuk segi teknis, ternyata cukup banyak yang terlewat, tapi untunglah ceritanya mampu menutupi kekurangan ini. Yang agak mengganggu mungkin karena banyak percakapan yang tadinya luwes, tiba-tiba patah (aduh, bahasa apa ya ini) dan inkonsistensi pengunaan kata. Terus, masih menggunakan "memerhatikan" alih-alih "memperhatikan".

Catatan: Bisa lho dibuat cerita tersendiri akan Kara dan Jo... :p



Post a Comment

2 Comments