[79] Enam Mahasiswa Pembohong: Ketika Rekrutmen Jadi Pengadilan Moral


Setelah menutup halaman terakhir Enam Mahasiswa Pembohong, rasanya sah untuk menetapkan satu hal: Akinari Asakura adalah nama baru dalam jajaran penulis misteri Jepang yang aku suka. Bukan karena sensasi kejutan murahan, melainkan karena ketenangan teknis tingkat tinggi yang ia pamerkan sepanjang novel ini.

Asakura mengambil premis yang tampak sederhana: enam mahasiswa tingkat akhir yang lolos ke tahap final rekrutmen perusahaan teknologi besar, lalu membelokkannya ke arah yang sama sekali nggak terduga. Alih-alih wawancara standar, para kandidat justru diseret ke dalam sebuah eksperimen psikologis: kerja sama tim yang seketika berubah menjadi kompetisi bertahan hidup, dipicu oleh amplop-amplop misterius berisi rahasia kelam masing-masing peserta.

Bisa dibilang novel ini bekerja sebagai kritik tajam terhadap dunia HR dan proses rekrutmen modern—yang sering kali menyerupai reality show. Kandidat dibentuk, diperas, diuji secara mental, lalu dinilai berdasarkan potongan-potongan citra yang belum tentu utuh. Asakura secara halus memperlihatkan bagaimana sistem yang seharusnya objektif justru rawan manipulasi, prasangka, dan permainan framing.

Namun kekuatan utama novel ini bukan cuma pada temanya, melainkan pada cara bercerita yang sangat disiplin dan presisi. Sudut pandang karakter dipilih dengan penuh perhitungan, lalu dipadukan dengan berbagai bentuk narasi: transkrip wawancara, surat, percakapan, hingga “isi amplop” itu sendiri. Semua elemen ini dijahit rapi, saling mengunci, tanpa ada satu pun yang terasa mubazir.

Pengungkapan fakta dilakukan bertahap, dengan revelation timing yang menurutku sempurna. Pembaca terus-menerus dipaksa bertanya:

Siapa pelakunya?
Bukan dia? Kalau begitu siapa?
Apa kata sandi file itu?
Apa sebenarnya “dosa” Shima-san?

Lapisan misterinya dikupas satu per satu, nggak pernah terlalu cepat, nggak pernah terlalu lambat. Dan puncaknya, rahasia isi amplop Shima-san ditahan hingga detik terakhir dengan kesabaran luar biasa. Saat gong itu akhirnya dipukul, semuanya terasa masuk akal. Nggak ada twist yang terasa dipaksakan. Yang ada hanya satu reaksi: “Oh… begitu toh.”

Yang buatku makin menarik, ini adalah novel misteri tanpa pembunuhan, tapi ketegangannya tetap terjaga dari awal sampai akhir. Justru karena taruhannya bukan nyawa, melainkan reputasi, masa depan, dan identitas moral para karakter. Penulis seolah ingin mengatakan bahwa kehancuran psikologis bisa sama brutalnya dengan kekerasan fisik.

Pada paruh akhir, nada cerita memang sedikit melunak, bergerak dari permainan psikologis yang intens menuju refleksi moral yang lebih tenang. Mungkin buat sebagian pembaca (termasuk aku), ini mungkin terasa “jinak”. Namun bukankah justru di sini pesan utamanya mengendap? Manusia selalu memiliki dua sisi. Satu keburukan nggak serta-merta menghapus kebaikan, dan satu kebaikan nggak menjamin seseorang bebas dari sisi gelap. Penilaian yang diambil dari potongan informasi hampir selalu cacat konteks.

Dan mungkin justru itu yang membuat Enam Mahasiswa Pembohong bertahan lama di benakku. Pertanyaan yang menggema adalah: Kalau aku berada di posisi mereka, apakah aku bakalan jujur? Atau aku juga seorang pembohong?

Novel ini bukan cuma misteri yang rapi dan memuaskan, tapi juga cermin; tentang bagaimana kita menilai orang lain, dan betapa mudahnya kita percaya pada cerita yang belum tentu utuh.

-

Keenam orang di sini semuanya sampah! 

Spiralinks, perusahaan IT yang bergengsi dan sedang naik daun, untuk pertama kalinya membuka lowongan kerja untuk mahasiswa tingkat akhir. Dari ribuan pelamar, enam orang terpilih untuk mengikuti seleksi tahap akhir. Tes terakhir melibatkan diskusi kelompok tentang proyek Spiralinks, jadi keenam mahasiswa tersebut mengakrabkan diri dan bekerja sama dengan harapan mereka semua bisa diterima. Namun, sehari sebelum tes, topik diskusi mendadak berubah menjadi “Siapa di antara keenam kandidat yang paling pantas diterima bekerja di Spiralinks?”

Keenam orang yang mulai berteman itu kini harus memperebutkan satu posisi di Spiralinks. Situasi semakin tegang ketika mereka menerima amplop berisi kebohongan dan dosa tergelap masing- masing... termasuk tuduhan bahwa seseorang di antara mereka sebenarnya adalah pembunuh!

Enam Mahasiswa Pembohong, Akinari Asakura

Penerjemah: Milka Ivana

Editor: Juliana Tan

Gramedia Pustaka Utama, 2025 

Post a Comment

0 Comments