Kau datang
dalam sunyi yang tak berusaha membuat kesan.
Tanpa gemuruh, tanpa lampu sorot—
hanya satu kehadiran kecil
yang entah bagaimana
mengganggu tenangku yang pura-pura.
Aku tak tahu kapan tepatnya,
tapi perlahan,
aku mulai mengenali sesuatu dalam caramu menatap:
sebuah cermin retak
yang memperlihatkan potongan diriku
yang lama menghilang.
Kepingan-kepingan itu
terselip dalam caramu mendengar,
dalam kalimat pelanmu yang tidak menuntut,
dalam senyummu yang seperti tahu
bahwa hidup kadang terlalu berat
untuk dijalani sendirian.
Aku kira,
akulah satu-satunya
yang pernah ditinggal ketika sedang percaya,
yang tubuhnya pernah dipojokkan oleh mereka
seolah rasa kecewa mereka-ku
lebih penting daripada lukaku.
Tapi kau pun ternyata
pernah berjalan di lorong yang tak kalah gelap.
Mereka-mu menuntut segala yang tak bisa kauberi.
Tubuhmu pernah nyaris menyerah.
Dan seseorang yang kausayangi
pernah pergi tanpa memberi alasan.
Aku mendengarnya seperti mendengar kisah
yang sudah pernah kubaca
di dadaku sendiri.
Saat itulah aku tahu,
bukan hanya aku yang sembiluan.
Bukan hanya aku yang belajar tersenyum
di atas puing-puing yang belum sempat dibereskan.
Kita berdua
adalah museum dari diri-diri
yang retak,
namun masih menyimpan ruang
untuk saling menjaga.
Untuk tidak menambah luka
dengan luka yang baru.
Kau tidak mengobatiku,
aku pun tak menyembuhkanmu.
Kita hanya duduk,
diam-diam saling mengakui
bahwa kita rapuh,
dan bahwa tidak apa-apa
untuk tetap tinggal
meski pintu dunia berkali-kali menolak kita masuk.
Dan di tengah segalanya,
aku merasa:
mungkin aku sedang jatuh cinta.
Bukan pada pelukmu,
tapi pada diriku
yang akhirnya bisa menatap cermin
tanpa ingin menunduk.
Jakarta, 6 Juni 2025
0 Comments