Litani Sebelum Kau Menoleh


Aku tak pernah benar-benar percaya
bahwa cinta dapat menyelinap masuk
melalui celah waktu yang bahkan belum sempat kutafsir.
Datang bukan dengan genderang,
melainkan dalam langkah lirih—
seolah semesta sekadar mengedipkan satu mata
dan segalanya berubah.

Kau hadir di sebuah ruangan yang asing bagiku,
tapi tiba-tiba terasa seperti penggalan masa lalu
yang lupa kutulis.
Kau duduk di sudut, tak meminta cahaya,
namun seluruh langit di dalam diriku
pelan-pelan condong ke arahmu.

Kau bukan badai, bukan pula pelangi.
Kau adalah laut pada bulan keempat:
tenang, luas, dan tampaknya jinak,
namun menyimpan arus balik
yang hanya dikenali oleh
mereka yang pernah terseret lalu kembali
dalam keadaan tidak utuh.

Ada sesuatu dalam caramu diam,
yang mengalahkan bising dalam kepalaku sendiri.
Bukan karena kau mencoba menyembunyikan luka,
melainkan karena kau sudah terlalu sering
menjahitnya seorang diri.

Kau bukan orang yang mudah dijangkau—
itu sudah kupahami sejak awal.
Ada pagar tak kasatmata yang kau bangun rapi,
bukan untuk menolak,
melainkan agar yang masuk adalah mereka yang benar-benar tahu
cara mengetuk tanpa mengguncang fondasi.

Tapi, ada kelelahan di sorot matamu
yang tak bisa kausembunyikan dari orang yang pernah merasa runtuh.
Kau bicara seperti seseorang
yang lebih fasih menyusun keheningan
daripada menjelaskan kenapa
segala sesuatu bisa begitu sunyi.

Kau hidup dalam dunia yang berlari cepat,
dengan koper yang tak pernah sempat dibuka sepenuhnya,
paspor penuh cap,
dan panggilan-panggilan video
yang mungkin lebih akrab daripada bayanganmu sendiri.
Dan aku—
aku masih tinggal di lorong-lorong kecil
yang mengajari sabar dengan cara yang keras,
hanya agar bisa bermimpi.

Namun sejak hari itu,
aku ingin menjadi lebih.
Bukan lebih megah.
Bukan lebih tinggi.
Hanya lebih… pantas.
Agar bila kelak kau menoleh,
aku tidak lagi harus menunduk malu
karena mencintaimu dalam ketidaksiapan.

Kau membuatku ingin tumbuh,
seperti pohon kecil yang akhirnya berani menembus atap,
bukan demi langit,
melainkan demi menjadi cukup rindang
untuk melindungimu saat dunia kembali gerimis.

Aku tak tahu apakah ini akan menjadi kisah,
atau hanya catatan kaki yang tak sempat dibaca siapa pun.
Tapi jika mencintai berarti menginginkan kebaikanmu
bahkan tanpa kau minta,
dan berusaha menjadi seseorang yang lebih utuh
meski tak dijanjikan akan ada tangan yang menggenggam,
maka izinkan aku tetap jatuh—
perlahan, tenang, dan utuh.
Seperti musim
yang tidak tergesa-gesa,
namun selalu tiba
dengan seluruh nadanya.



Jakarta, 2 Juni 2025

Post a Comment

0 Comments