Peristiwa Mengingat

“Kayaknya bakalan hujan deh,” ujarku sambil menengadah, mengamati langit yang tampak mendung. “Hawanya juga pengap banget.”

“Nggak kok, langitnya aja yang memang abu-abu,” tukasnya sambil berjalan di belakangku dan ikut menuruni tangga di halte Transjakarta.

Aku mendongak. Mungkin dia benar karena belakangan ini kualitas udara di Jakarta buruk—meski aku tidak mengeceknya secara rutin di aplikasi IQAir. Mungkin memang langit yang kelihatan mendung sebenarnya hanya gumpalan-gumpalan polusi.

Hari ini kami berencana pergi ke Kota Tua. Yah, tempat ikonik di Jakarta yang tidak pernah terpikirkan olehku bakal kukunjungi setelah mulai bekerja beberapa tahun silam. Bahkan, tidak pernah tebersit di benakku untuk pergi ke sana lagi. Terakhir kali pergi ke sana sekitar tahun 2017 atau 2018, ketika aku masih getol berlari, mencari kilometer agar PR long run-ku terpenuhi. Itu pun sekadar lewat. Dan rasanya… di sana tidak menarik.

“Nanti ikut pottery class nggak, ya? Kayaknya seru deh,” ujarnya ketika kami sudah berada di dalam bus.

“Boleh, kalau kamu mau,” jawabku enteng. Hari ini memang sudah kualokasikan untuk keluar bersamanya. “Kamu pernah ikut kelas semacam itu?”

“Pernah, lumayan seru,” ujarnya.

Kami pun mengobrol ringan seputar pekerjaan, isu-isu di media sosial, dan beberapa hal lainnya saat menuju lokasi pertama. Sebenarnya lokasi pertama kami tidak langsung ke Kota Tua, melainkan Petak Enam untuk makan camilan yang sudah dia idam-idamkan. 

Sampai di sana, kami langsung menuju stand penjual roti khas Taiwan dan gorengan cempedak legendaris. Kami berdua memang sama-sama tipe yang tidak terlalu bisa makan langsung banyak, maka dua camilan tersebut sudah termasuk cukup mengisi perut. Tak lupa, kami membeli es teh kocok harga bersahabat yang ternyata enak.

Baca juga: Ketidaksempurnaannya sebagai Pesona yang Sulit Kupahami

“Aduh, akhirnya makan juga nih bun Taiwan,” katanya riang sambil mengunyah roti isi daging. “Duh, enak!”

Aku ikut menggigit roti itu dan mengangguk setuju dengannya.

“Tapi enakan yang di Taiwan,” ujarnya.

“Ya iyalah, makanan asli sana pasti enakan dari sana.” Aku terkekeh. “Aku jadi nggak sabar ke Taiwan lagi Mei nanti.”

“Kamu wajib kulineran lagi sih di sana,” ujarnya. “Banyak makanan yang aku kangen. Aku juga suka misoa kayak kamu.”

“Bener! Makan pas hujan enak banget, terus setelah itu ngemil stinky tofu. Yakin nggak mau bareng aku ke sana?”

“Bulan depan aja aku bakal ke Shanghai sama keluargaku. Lihat nanti deh.”

Aku mencibir, “Itu sih memang nggak bakal bareng aku ke Taiwan-nya.”

Kami kembali menikmati kudapan kami, disusul menyeruput minuman dan menandaskan semua makanan.

Selesai makan, dia mengajakku untuk lekas pergi ke museum.

“Dari sini naik Transjakarta dari mana?” tanyaku.

Dia tertawa. “Nggak perlu. Tinggal jalan kaki, tahu.”

“Oh?”

“Kamu pasti nggak pernah main-main ke sini lagi.”

Baca juga: Gerimis

Tebakannya benar. Terakhir kali aku ke area Petak Enam memang bersama dua temanku dua tahun lalu—ketika baru booming dan di saat transisi pandemi. Sementara itu, kalau area Kota Tua, kalau benar-benar bermain, mungkin ketika kuliah dulu saat semester awal.

Kami pun berjalan kaki, sesekali bercanda. Diam-diam aku juga mengamatinya. 

Elok. 

Orang ini, maksudku dia, tampak sangat elok. Keelokan yang terasa lembut. Matanya tidak terlalu sipit jika dibandingkan ras yang dimilikinya. Rambutnya yang agak ikal sesekali dia sugar agar kelihatan rapi. Hidungnya tampak bangir. Bibirnya tampak menggoda, apalagi kalau tertawa dan tersenyum. Dia bak porselen mahal yang tidak pernah sekali pun terbayang pernah kumiliki.

“Eh, ke sini yuk! Ayo masuk!” ajaknya ketika kami berada di depan Museum Mandiri.

Sebenarnya, tujuan kami adalah pergi ke Museum Keramik—terus terang aku belum pernah pergi ke sana.

Ketika memasuki museum, hawa dingin menyambut kulitku yang sudah basah karena peluh. Sensasinya menyenangkan. Lantas, entah karena bangunannya pernah kumasuki, aku merasakan hawa nostalgia yang menggelitik. 


Sumber: Devotion by Chris

Hawa nostalgia yang meluap di benakku ini terasa berbeda. 

Rasanya seperti berkunjung ke masa lalu, ketika impian terasa bisa terengkuh. Berbeda dengan saat ini yang mana tiap impian memudar; berganti dengan rutinitas untuk bertahan hidup.

Museum mengingatkanku akan rasa senang mengunjungi sesuatu yang kusukai. Hal yang tampaknya jarang kulakukan.

“Ke sana yuk,” ajaknya.

Aku mengangguk dan mengikutinya.

Terakhir kali menginjakkan kaki di sini, aku bersama teman-teman kuliahku. Kala itu kami sedang libur semester. Di antara memori samar yang coba kuingat-ingat, mungkin liburan semester dua, atau tiga? Entahlah, yang jelas kami menjelajah Kota Tua dengan riang bermodalkan uang seadanya.

Puas keliling dan melihat benda-benda antik di museum itu, aku dan dia pun keluar. Saat keluar dari sana, perasaanku meluap. Mencerna perasaan aneh nan familier yang kubilang tadi. 

“Kita ke Museum Keramik, yuk!” ajaknya.

Legoh,” sahutku, masih berusaha mencerna perasaan yang kualami.

Baca juga: Dari Jauh

Sebelum sampai di Museum Keramik, kami sempat melakukan swafoto—yang mana fotoku sama sekali jauh dari apik. Berbeda dengannya yang dari sudut mana pun selalu bagus. Yah, memang nasib memiliki wajah pas-pasan sepertiku yang keelokan foto diri bergantung pada sudut ambil.

Sampai di Museum Keramik, kami langsung melongok pottery class. Meski demikian, setelah berdiskusi pendek akhirnya kami memutuskan untuk tidak mengikuti kelas tersebut. Kami memilih untuk melihat-lihat benda seni di museum ini.

Dan di sinilah peristiwa mengingat itu beterbangan di benakku.

Berbagai lukisan dan keramik disajikan. Beberapa pengunjung tampak acuh tak acuh dengan barang-barang di sini. Beberapa hanya ingin mengabadikan momen dan mengunggahnya di media sosial—seolah ingin memvalidasi kalau mereka adalah pencinta seni.


Sumber: Nalar.id

Namun, di sinilah aku kembali mengingat hal-hal yang sepatutnya kulakuan karena memang kusukai: tenggelam dalam karya seni yang selalu membawa aura magis untukku. Menafsirkan dengan perspektifku sendiri akan sebuah karya yang memakan waktu tapi adiktif.

Aku pun berpikir, sejak kapan aku mulai melupakan kebahagiaan seperti ini? Sejak kapan hidupku selalu berkelindan dalam rutinitas demi bertahan hidup?

Aku tidak tahu jawaban pastinya.

Yang pasti, aku sudah lupa rasanya berbahagia meski hanya sebatas menikmati karya-karya seni seperti ini. Waktu luangku hanya bisa kulakukan untuk istirahat dengan merebahkan diri. 

Sesi pertama aku menyelami karya lukisan. Beberapa ada yang hanya sebatas replika berupa digital printing. Namun, tetap bisa dinikmati karena kualitasnya sangat baik. Lukisan-lukisan yang berada di sana membuatku sangat menikmatinya. Di tiap lukisan tersemat judul. Akan tetapi, tetap saja aku sebagai penikmatnya punya tafsir tersendiri. Bukankah demikian seni seharusnya diapresiasi?

Sesi kedua dia mengajakku ke kumpulan berbagai keramik. Mulai dari keramik dari zaman dahulu kala, dengan berbagai hasil yang unik dan antik.

Usai menyelami Museum Keramik, aku merasa sangat penuh dengan kebahagiaan. Ternyata bahagia memang bisa sederhana. Meski kesederhanaan itu sendirilah yang harganya sangat mahal pada zaman sekarang.

Kami lanjut untuk minum dan menikmati hawa sejuk di Rode Winkel. Setelah itu kami pulang ke tempatku dengan naik Bus Wisata Transjakarta berupa double dekker. Menyenangkan, karena mengingatkan kami pada karyawisata ketika bersekolah dulu—apalagi dengan pengeras suara.

Baca juga: Pertemuan Pertama & Bintang-Bintang di Sekeliling Kita

Sesampainya di tempatku, kami mengobrol remeh. Dia sesekali pun mengecek linimasa media sosial, menunjukkan padaku hal-hal lucu yang dia temukan.

Sampai akhirnya reaksi kimia yang timbul akibat gesekan kulit kami terjadi dan berujung pada peleburan. Usai, aku hanya menatapnya gamang dalam keremangan cahaya kamar.

Jarakku dengannya bahkan sedekat nadi. Namun, terasa sekali jarak yang melintang antara aku dan dia. Sama-sama menapak bumi, tapi kami berada di dua dunia berbeda yang mana mengingatkanku akan kesadaran kebahagiaan itu memang rasanya jauh dari rengkuhanku.

Manusia ini indah. Apalah aku ini? Entitas tak bermakna? batinku saat itu.

Sadar diperhatikan, dia bertanya, “Kenapa?”

Aku hanya tersenyum kecut. “Nggak apa-apa.”

Dia mengernyit bingung, tapi pada akhirnya memelukku hangat sampai kantuk mendera kami.

Post a Comment

0 Comments