Gerimis

Rasa ciuman itu seperti pengkhianatan. Parfum pekat di sekitar lehernya masih bisa kuendus saat bibir kami saling berpagutan. Namun, indra perasaku mengaburkan rasa asam nikotin di lidahnya menjadi kenikmatan yang ingin kucecap terus-menerus. Namun, sekali lagi, rasanya seperti pengkhianatan.

Aku memang lajang, tapi entah kenapa aku merasa telah mengkhianati seseorang. Seseorang yang mungkin saja hanya menganggapku sebagai hiburan semata setelah aku mengakui perasaanku. 

Baca juga: Perkara Cinta

Akan tetapi, kuteruskan saja ciuman itu. Kuteruskan dengan pura-pura terengah dengan cecapannya. Ciuman itu memang penuh hasrat, tapi tidak membuatku sebegitu inginnya. Kuakui nafsuku mengeras, tapi sebatas itu. Letupan-letupan keserakahan itu tidak terbit di benakku.  
  

Sumber: VOCM

Kami pun bermain, mengikuti keduniawian yang memimpin. Tangan kami sibuk mencari celah-celah agar diri kami bebas. Pinggul kami melesak satu sama lain. Kaki kami meraba-raba letak yang tepat.

Baca juga: Kaubilang

Terbakar sudah—aku dan dirinya. Yang membuatku heran, kenapa hatiku justru gerimis setelah melakukan itu dengannya? Kenapa ada melankoli yang menggenang saat gerimis datang? Kenapa aku malah merasa jadi pengkhianat? Kenapa kesedihan tiba-tiba meruak?

Mungkin… mungkin itu pertanda kalau aku harus siap untuk sakit hati… lagi?

Post a Comment

0 Comments