Ankara di Bawah Purnama - 2 (Tamat)

WINA benci pagi hari. Hal yang tidak dia sukai adalah melihat orang-orang mulai beraktivitas di sepanjang jalan yang bisa ia tangkap lewat jendela apartemennya di lantai sepuluh. Dari sana Wina dapat melihat apartemen-apartemen yang jaraknya berdempetan.

Kebenciannya akan pagi dimulai ketika Erdem memberikannya pesan singkat yang meruntuhkan imaji yang sudah terbangun.

“Aku pergi sementara untuk menyelesaikan perkara. Tunggu aku.”

Pesan itu tertera di ponselnya. Pagi pertama di Ankara. Hari sebelumnya mereka berdua bergumul pada malam hari setelah kedatangannya di negeri asal bunga tulip itu. Tidak pernah Wina sangka pesan itu akan merecoki sendi-sendi hidupnya. Baru semalam bercinta dengan Erdem, esoknya dia mengalami kehilangan besar.

Pagi pertama di kota itu menjadi irisan luka kecil di hatinya. Siapa sangka sayatan itu meluruhkan dirinya sampai sekarang? Membengkak sehingga menggerogoti seluruh hatinya. Membuatnya jadi manusia lemah. 

“Aku akan menjadikanmu yang pertama, bukan yang kedua,” janji Erdem padanya.

Wina tidak pernah tahu apa arti kata itu. Yang jelas, bagi Wina, dia hanya memiliki Erdem seorang. Di Jakarta, dia selalu dicibir karena merupakan anak haram yang ditelantarkan di panti asuhan. Dia tumbuh menjadi orang yang begitu tertutup. Begitu membenci dunia. Hingga akhirnya seorang Erdem hadir di hatinya dan memberikan letupan kebahagiaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Bukan hal aneh ketika dia mengiakan permintaan Erdem untuk tinggal di Ankara.

Wina merasa dirinya adalah ekspatriat yang terjangkit ribang. Dia pun mencoba untuk menutup matanya agar kantuk hadir. Dia berharap ketika terbangun, purnama sudah muncul.


* * *


Sumber: Wallpaper Flare



Waktu pun terus berputar hingga Ankara berada di bawah purnama. Saat yang dulu ditakuti Wina karena selalu memicu melankoli di hatinya, kini menjadi saat yang paling dinantikan. Purnama selalu menjadi saksi percintaannya yang dahsyat dan menggebu. Bukan hanya di kamar apartemennya, tapi juga di atas tanah kawasan kumuh dekat Ankara Castle yang berbau busuk, tempat parkir gedung yang selalu bising dengan suara kendaraan… pokoknya di mana pun asal tiga orang itu bersedia. Gaya bercinta mereka pun makin bervariasi. Wina tidak terlalu suka percintaan yang biasa. Dia gemar bermain peran dengan tiga orang itu. Kadang, dia bercinta dengan dua orang atau bahkan ketiganya. Mereka sudah saling mengerti satu sama lain. Percintaan itu ada karena memang mereka saling membutuhkan. Mereka ada saat Wina membutuhkan mereka. Saat Erdem tidak sempat hadir untuknya

“Sedang apa kau, Erdem?” gumamnya. Apakah laki-laki itu pernah merasakan sakit seperti yang dirasakan Wina?

Namun, kerinduan sudah berubah menjadi perasaan yang begitu rutin. 

“Ankara seperti maket versi besar jika dilihat dari sini,” ucap Mata Maskulin. Dia menyisir pandangannya ke sekeliling.

Wina mengangguk setuju. Dari tempat paling tinggi di apartemennya, Ankara terlihat seperti miniatur dengan bangunan-bangunan menjulang tinggi berbentuk persegi panjang. Beda dengan Jakarta dengan berbagai gaya gedung, Ankara memiliki gedung yang tipikal dan tertata rapi. Cahaya dari lampu-lampu yang dinyalakan menciptakan suasana lembut dari Ankara di malam hari. Ankara malam hari bak gemintang di angkasa jika dilihat dari atas.

“Aku selalu suka angin di sini. Meski membuatku kedinginan, angin itu menyadarkanku bahwa sebagai manusia aku begitu membutuhkan kehangatan,” kata Aroma Rempah. Dia mengusap-usap kepala Wina, lalu merangkulnya dengan tangan kanan. 

Kopi Jantan tak mau kalah menebar pesonanya. “Kau tahu, Wina? Kadang kau tidak perlu cinta untuk terjaga… kau hanya butuh asupan kafein dan aku bisa membuatmu terjaga dengan itu.”

“Aku ingin sekali pergi dari sini. Pindah ke kota lain agar Erdem tidak bisa menemukanku. Aku tidak sudi melihatnya lagi. Teganya dia membohongiku padahal dia sudah beristri. Padahal hatiku telah raib dirampas olehnya,” kata Wina akhirnya. “Tapi jika aku pindah, itu sama saja mengubur kenangan akan kebersamaan kita.”

Kembalilah, Wina… kembali seperti dirimu yang dulu…

Wina tergugu. Dengan lirih, angin menyampaikan suara itu di telinganya.

Melihat raut Wina yang berubah, tiga laki-laki itu bertanya apa yang terjadi. Wina hanya menjawab bahwa dia ingin bercinta dengan mereka bertiga. Meski sebenarnya dia tahu suara yang disampaikan oleh angin musim dingin di Ankara adalah pesan dari Erdem.

Pesan itu juga hadir di mimpi-mimpinya. Erdem yang begitu sedih, Erdem yang begitu terluka… serta Erdem dengan mantra-mantranya. Namun, Wina sudah tidak bisa merasakan sakit, maka dia teruskan saja permainan libido yang sudah telanjur dimainkannya dengan tiga orang itu.


Baca juga:


Wina, tolong hentikan. Aku minta maaf… aku sudah pulang… 

Suara itu hadir di otak Wina seperti telepati. Perempuan itu berusaha mengenyahkannya. Dia menikmati lidah Kopi Jantan begitu lama. Lalu dia beralih ke tubuh Aroma Rempah yang sudah tergolek. Kemudian dia tatap Mata Maskulin dengan saksama.

Lengkap sudah kebahagiaannya. Wina hanya butuh tiga orang itu. Dia tidak butuh Erdem. Memang seharusnya seperti itu, kan? Dia pun menyerahkan tubuhnya untuk tiga laki-laki di hadapannya. 

Wina pun berbaring dan membiarkan ketiga laki-laki itu melakukan aksi sebagaimana manusia menuruti nafsunya. Wina tidak sadar tiga lelaki itu sudah menjelma hewan. Wina tidak diberi ruang untuk bergerak sedikit pun. Tangannya dicengkeram, tubuhnya dicecap berkali-kali. Sesuatu yang keras merambat ke tubuhnya. Tak ayal, Wina pun memekik. Pekikannya pun tertahan oleh kecupan paksa—entah oleh Kopi Jantan, Aroma Rempah, atau Mata Maskulin. Wina tidak dapat menebaknya karena justru menguar bau alkohol. Entah dari mana asalnya, sensasi jijik menjalar padanya.

Aneh! Tidak seperti percintaan mereka yang menggebu, kali ini rasanya Wina terpaksa menuruti kemuan tiga laki-laki itu! Padahal sebelumnya dirinya-lah yang menginginkan hal ini! Bahkan Wina meronta, merasa tidak terima. Namun, tetap saja tiga laki-laki itu bersekongkol. Sesuatu yang keras merambah pada selangkangannya. Rasanya ingin sekali Wina menangis. Rasanya dia dipaksa menuruti nafsu tiga laki-laki itu sekaligus.  

Namun, di saat itu juga sayup-sayup terdengar suara Erdem.

Maaf, Wina. Aku minta maaf…

Wina berusaha untuk meronta dan berteriak. Erdem! Mengapa di saat dia yakin sudah melupakan Erdem, justru dia merindukannya lagi? Perasaannya terbagi antara candu, jijik, juga rindu.

“Erdem... tolong...” Wina mendesis, tepat ketika air matanya jatuh. Namun, matanya hanya bisa menatap purnama yang begitu cantik di antara awan-awan tipis yang berjalan lamban di langit nan jauh di sana.


* * *



Teaser klip "Ankara di Bawah Purnama"


Erdem mengembuskan napas panjang. Betapa dia tidak bisa melepaskan pandangannya dari Wina. Tampilan perempuan itu begitu berbeda dengan yang dikenalnya dulu.

“Wina, aku minta maaf…” ucap Erdem lirih.

Sejak bertemu Wina di Jakarta, dia jatuh cinta pada Wina padahal Erdem sudah menikah. Wina selalu membuatnya terbuai. Sampai akhirnya dia berani membawa Wina ke Ankara, berharap perempuan itu dapat bertahan hingga dirinya dapat membereskan perceraian dengan mantan istrinya.

Namun, semuanya terlambat.

Tidak pernah terpikirkan bahwa mantan istrinya diam-diam tidak membiarkan Erdem lepas begitu saja. Tanpa sepengetahuan Erdem, perempuan itu memberikan pesan ke Wina kalau Erdem sudah menunggunya di dekat Ankara Castle—sebelum Erdem bertolak dari Ankara menuju Konya untuk membereskan perceraiannya.

Wina berteriak nyaring, matanya melotot. Lalu tawanya berderai. Matanya yang selalu berbinar kini redup. Rambutnya juga terlihat kusut. Peringainya tidak lagi menyenangkan. Rantai yang ada di kakinya membuat ruang geraknya terbatas. Dia pun mengamuk dan meracau tidak keruan.

“Perempuan itu kerap kali membuat warga sekitar Distrik Kavaklıdere resah. Dia suka mencuri biji kopi kering dan serbuk rempah. Setelah mendapatkannya, dia akan gembira, lalu memasukkan benda-benda itu ke selangkangannya. Ketika melakukannya, dia selalu berteriak baksana agar orang-orang memperhatikan apa yang dilakukannya. Begitulah sehingga kami harus mengikatnya di ranjang.”

Penjelasan petugas itu menyadarkannya kembali ke dunia nyata. Erdem tahu, karena kata Wina tiga hal itu identik dengan dirinya—dan sempat dibanggakannya: kopi, rempah, dan mata yang tajam bagai elang. Hatinya sesak dan sakit. Dia hanya dapat menghina dirinya sendiri yang tidak awas menyimpan ponsel, juga dia yang begitu lamban bergerak sehingga semuanya terlambat. Membayangkan Wina melakukan hal itu, Erdem sungguh tidak tega. Andai saja waktu dapat diulang kembali... Tidak akan dia dapati Wina di tempat ini!

Erdem menguatkan hatinya. Dengan perlahan dia berjalan ke dalam ruangan tempat Wina berada. Di ranjang berseprai putih itu, Wina yang masih tertawa, akhirnya tercenung, sadar akan sosok Erdem. Dia yang tadi diam akhirnya menjerit beringasan. Dia memberontak sehingga ranjang bergerak-gerak dan menimbulkan bunyi riuh.

“Wina… aku minta maaf.”

Teriakan Wina makin keras, berusaha mengusir Erdem dari pandangannya. Hormon kortisol bagai hilang sehingga ketakutan menjalar di tiap tubuhnya. Sebuah skenario di bawah purnama muncul kembali di ingatan Wina.

“Pada tengah malam, kondisi pasien lebih parah lagi,” lanjut si petugas.

Erdem berusaha mendekat. Laki-laki melantunkan ayat-ayat suci, kadang berharap agar amukan Wina redam. Juga berharap Wina kembali sadar. Dan, memang… Wina lebih tenang ketika dia menyenandungkan mantra itu—meski temporer.

Reka adegan timbul di benak Wina. Ankara Castle yang memiliki posisi dekat dengan kawasan kumuh memiliki tingkat kriminalitas tinggi. Ketika purnama menunjukkan keangkuhannya, Wina berdiri menunggu. Menunggu Erdem dengan setia. Tidak pernah diduganya tiga laki-laki mabuk datang memerkosanya—dan mata Wina hanya dapat tertuju pada purnama yang angkuhnya bersinar di langit Ankara ketika para laki-laki laknat itu menindih tubuhnya secara bergiliran. Betapa Ankara di bawah purnama itu menjadi momok paling mengerikan di hidupnya.

Ketika kembali ke apartemennya, semua terasa stagnan. Dirinya hanya bisa menangis dan meraung. Dua hari kemudian, Wina mulai berulah. Dia mengalami gangguan kejiwaan. Seminggu kemudian, barulah Erdem sadar bahwa terjadi sesuatu pada Wina. 

Tidak sadar air mata Erdem tumpah. Kesedihan itu bagai ribuan jarum yang menusuk-nusuk hatinya. Dukanya mengalahkan apa pun saat menghadapi kenyataan bahwa karena Erdem sendiri, orang yang dicintainya justru menjadi penghuni bangunan dengan plang besar bertuliskan Ankara Ruh ve Sinir Hastalıkları Hastanesi—Rumah Sakit Jiwa Ankara.


T A M A T

Cerita pendek dengan judul yang sama ini pernah dimuat dalam 
buku antologi cerita pendek Kata Kota Kita yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. 
Penulis saat itu memakai nama pena Tsaki Daruchi.

Post a Comment

3 Comments

Dedul Faithful said…
Salah satu cerpen yang paling membekas di buku tersebut 👍👍