Under the Milky Way - 2

NURI menyerahkan dua plastik batu es pada Musa dengan wajah ditekuk. Musa menerimanya, lalu mencelupkan dua batu es tersebut ke dalam ember besar. Laki-laki itu menatap Nuri dengan saksama. Rambut pendek Nuri yang dipotong sebahu tertiup angin sore. Perempuan itu kelihatan manis, tapi ekspresinya tampak keruh.

“Kamu tuh bukan atlet, Mus,” gerutu Nuri. “Setiap Minggu long run, emangnya mau jadi apa sih? Dua puluh satu kilometer itu bukan jarak yang deket. Kamu nggak kasihan sama kaki kamu?”

“Gue nggak asal lari kok. Gue kan lagi training, ikut running courses dari coach yang ada di komunitas.” Musa tersenyum, sudah terbiasa dengan omelan Nuri. Dia mencelupkan kedua kakinya ke ember yang sudah dingin karena telah dicelupkan dua batu es.

Benar-benar nikmat!

Setelah otot-otot kakinya terasa pegal dan panas karena habis berlari half marathon, tersentuh air dingin terasa begitu menyenangkan. Apalagi cuaca sore ini sejuk dan teduh—setelah tadi sempat gerimis dan sekarang sudah reda, ditambah efek halaman rumahnya yang asri.


Sumber: Flickr


“Tapi tiap Minggu kamu selalu pesan dua kantong batu es. Besoknya, pas udah mendingan dikit, kamu lari lagi. Tempo run-lah, easy run-lah, interval run-lah. Kamu tuh mahasiswa, bukan atlet. Lagi pula, emangnya manfaat buat kamu apa sih lari melulu? Kamu nggak perhatiin badan kamu makin kurus begitu? Kamu tuh baru sekali juara lomba lari, itu pun skalanya cuma kampus! Lagaknya udah kayak atlet beneran.”

Musa meringis. “Wah, lo hebat banget bisa hafal beragam jenis latihan lari! Lo tertarik ikut gue latihan?”

“Aku nggak bercanda, Musa,” tukas Nuri ketus.

“Siapa bilang gue nggak serius?” balas Musa tenang.

Nuri memang tidak akan pernah tahu alasan Musa tergila-gila pada dunia lari. Bukan karena Musa ingin menjadi atlet, bukan pula karena dia ingin mendapatkan podium seperti yang Nuri tuduhkan.

Nuri memang tidak pernah mendengar alasan Musa menyukai olahraga tersebut karena Musa tidak pernah mau membahas mengenai alasannya suka berlari. Yang Nuri tahu, sejak mengenal Musa, laki-laki itu memang suka berlari, terlebih saat Musa—yang menurut Nuri—“kebetulan” menjadi juara satu dalam lomba lari tingkat fakultas.

Musa mendongak, memperhatikan Nuri yang masih bergeming. Ekspresi perempuan itu  masih tampak jengkel.

“Sori, gue cuma butuh distraksi yang menyehatkan. Daripada gue sibuk ngabisin waktu buat sesuatu yang nggak guna, ya kan?” kata Musa. “Dan... yah, makasih buat perhatian lo.”

Nuri mendesah sangat pelan, sehingga tidak terdengar oleh Musa. “Besok kamu harus dateng temenin aku ke acara ultah temenku. Masih ingat, kan?”

“Boleh pake kaus dan celana pendek, kan?”
Nuri tambah cemberut.

Musa tertawa. “Iya, iya, gue tahu. Gue bakal dateng sesuai dress code yang lo bilang. Besok gue cuma latihan core kok, jadi mestinya sempat buat nemenin lo.”

“Aku pegang janji kamu,” kata Nuri sambil duduk di samping Musa, tidak memedulikan latihan yang Musa maksud. Dia memandang lurus ke depan. Halaman rumah Musa yang cukup luas memang kelihatan sangat asri dengan pohon belimbing, jambu, dan mangga. “Kamu kan tahu aku udah janji buat ngejagain kamu.”

“Nggak salah tuh? Bukannya gue yang jagain lo? Elo kan cengeng dan lembek,” balas Musa santai.

“Hih, berisik! Pokoknya besok jam lima sore aku ke sini,” ujar Nuri.

Musa menoleh ke arah Nuri. “Mau naik motor atau mau lari?”

“Humor kamu ketinggalan zaman!” gerutu Nuri.

“Dasar jomblo, sukanya ngabisin waktu orang aja,” kata Musa sambil mengambil gayung di samping ember dan membasahi setengah paha dan betisnya.

“Mus, aku serius. Besok... besok kamu harus ikut aku datang ke acara itu. Ini... ini masalah yang cukup penting.” Tiba-tiba wajah Nuri bersemu merah.

“Ultah siapa sih?” tanya Musa penasaran. “Bukan gebetan lo, kan?”

“Bukan,” tukas Nuri cepat. “Kalo kamu nggak ikut, aku—”

“Lo ngajak gue biar nggak kelihatan ngenes pergi sendirian, kan? Ketebak woy!” Tawa Musa meledak.

Sekakmat! Wajah Nuri benar-benar merona karena malu. Namun, dia tetap berusaha menampilkan ekspresi jengkelnya.

“Lo tuh gampang banget ditebak, Ri. Iya, iya, gue bakal nemenin lo.” Musa masih tertawa. “Eh, omong-omong, lo kan anak FE… gue mau tanya deh.”

Nuri terdiam beberapa saat. Setelah rasa malunya hilang, dia balik bertanya, “Tanya apa?”

“Kenal sama cewek bernama Ines?”

Nuri mematung beberapa detik. “Kenapa emangnya?”

Musa tampak menerawang—entah apa yang dilihat dari pelupuk matanya. “Tadi gue nggak sengaja ketemu sama cewek itu. Anehnya, gue nggak bisa lepas ngeliat dia. Rasanya gue kayak tersedot ke dunianya. Aneh banget, kan? Tapi itu yang gue rasain pas ketemu dia.”

“Dan kamu baru kenal cewek itu barusan, kan? Drama banget,” cibir Nuri.

“Drama, ya?” Musa terkekeh. “Yah, mungkin karena gue ngeliat dia setelah selesai lari di kampus, jadi pikiran gue ngaco ketemu cewek cantik kayak Ines. Eh, lo belum jawab. Lo kenal sama Ines?”

“Dia yang undang aku ke acara ultahnya.”

“Oh?” Musa tampak terkejut sekaligus antusias.

Nuri tertawa getir. “Nah, kebetulan yang drama banget. Semoga hubungan kalian nantinya nggak drama.”

“Hubungan? Gue aja baru pertama kali ketemu dia, Ri. Tapi… yah, gue nggak tahu juga sih. Ini pertama kalinya gue ngerasa tertarik sama sosok yang baru gue kenal.”

Love at the first sight? Don’t act too goofy, Mus,” tandas Nuri.

Musa nyengir. “Bukan ‘love’, Ri. Tapi gue ngerasa tertarik. Cuma itu. Lagi pula, mungkin aja dia udah punya pacar. Entahlah, tadi dia kelihatan ringkih banget. Gue ngeliat dia pas lagi muntah-muntah.”

Nuri berusaha tidak memedulikan ucapan Musa. Namun, dia tahu ada rasa janggal di hatinya. “Tapi jangan macem-macem sama Ines ya, Mus. Dia punya Erick. Anak-anak seangkatan juga tahu hubungan mereka. Orang kayak kamu nggak mungkin bisa bikin celah.”

Setelah mengatakan itu, Nuri meninggalkan Musa, keluar dari halaman rumahnya, mungkin langsung pulang. Sementara itu, Musa hanya terheran-heran dengan ungkapan terakhir yang Nuri ucapkan.

Celah? Maksudnya apa?

Namun, Musa tidak ambil pusing. Dia kembali menyiram kakinya dengan air dingin agar pegal-pegal di kakinya hilang.

Post a Comment

0 Comments