Saat-Saat Jauh

Sebelum boarding dan mengubah ponsel ke mode penerbangan, aku sempat mengecek linimasa Twitter. Kau menuliskan tiga kata yang tak pernah kusangka padahal baru tiga jam kita berpisah dan tak sampai satu menit kita bercakap-cakap lewat telepon. 

Tiga kata itu menyentil benakku. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah kau benar-benar merindukanku seperti itu. Penerbangan dua belas jam dari Singapura menuju Frankfurt yang seharusnya sangat kutunggu-tunggu mendadak membuat perasaanku kebas.

Sumber: Pexels


Dengan benak yang kusut aku duduk di dalam pesawat. Kemudian tanpa terasa aku sudah makan malam dan melewati dua jam pertama akan penerbanganku. Lalu aku menyadari bahwa aku juga merindukanmu. Bahkan saat penerbangan dari Jakarta menuju Singapura aku sudah merindukanmu. Lebih tepatnya lagi, aku sudah merindukanmu saat kau menemaniku pergi ke bandara sore itu.

Mungkin kau mengerti mengapa ada kerinduan padahal keberadaanmu jelas-jelas nyata kulihat. Kau tentu paham bahwa ada perasaan yang begitu meluap dan harus kita tahan dalam-dalam dengan kontrol yang kuat. Kau mengerti perasaannya, kan?

Mataku mulai basah saat pesawat nyaris landing. Saat itu Spotify sedang acak memainkan lagu favorit kita. Mataku makin basah dan orang asing yang berjarak dua bangku denganku memandangiku heran. Aku hanya tersenyum sekenanya dan berkata aku baik-baik saja. Maka, aku berusaha menata perasaanku.

Dua belas jam berlalu dan angin Frankfurt menerpaku dengan lembut. Matahari memang bersinar terik, tapi aku bisa melihat suhu kota ini berada sekitar dua belas derajat Celcius. Masih bisa kutolerir. Lalu tak terasa aku sudah melihat-lihat gereja kuno di Worms. Tak terasa aku sudah mendengar legenda tentang Nibelunger. Tak terasa aku sudah mencicipi sosis dan gelatto terkenal di sekitar Worms. Sayangnya, kesibukan-kesibukan itu tak bisa mengalihkanku untuk berhenti memikirkanmu.

Sebelum membeli SIM Card di Frankfurt, rasanya begitu sulit. Aku begitu ingin mengirimkan pesan untukmu. Aku hanya bisa melakukannya saat mendapat Wi-Fi. Syukurlah aku segera membelinya dan bisa bertukar pesan untukmu. Beruntunglah aku karena saat ini teknologi begitu maju. Aku kerap melakukan video call denganmu. Anehnya kau rela memasang alarm jam satu pagi demi mengobrol denganku. Selisih waktu tak terlalu masalah, kurasa begitu. Meski bisa mendengar suaramu atau melihatmu lewat ponsel, ternyata eksistensimu lebih daripada apa pun. 

Malam ketiga, setelah pulang dari Nurenberg, aku meringsut di tempat tidur. Cuaca begitu dingin, bahkan mencapai enam derajat Celcius. Saat itu aku begitu menginginkanmu berada di sampingku. Aku ingin menyentuh kulitmu yang halus bagai beledu juga hangat seperti matahari di Jakarta saat pukul enam pagi. Aku ingin memelukmu.

Aku melewati tiap malam dengan video call denganmu. Aku selalu tersenyum melihat kebodohanmu yang selalu menggemaskan. Itu pertama kalinya aku merasakan kerinduan yang begitu besar. Ribang yang tak terelakkan. Mataku terasa makin panas saat membaca puisi yang kaukirim. Mengapa di akhir puisi itu kautanyakan lagi? Bukankah kau tahu jawabannya dengan jelas? Aku mau. Aku menginginkannya. Aku menginginkanmu.

Pada hari terakhir di Hamburg, aku begitu tidak sabar. Aku tidak sabar bertemu denganmu. Mungkin bagi beberapa orang melancong di Eropa sangatlah menyenangkan. Mungkin solo traveling adalah hal paling mengasyikkan. Sayangnya, tidak untukku. Bagiku, sebuah tempat hanya sekadar tempat jika aku hanya sendiri. Mungkin hanya sekelebat memori yang indah untuk diingat kelak. Namun, yang kuinginkan adalah kenangan-kenangan yang tercipta denganmu di mana pun itu terjadi.

Maka, aku paham. Tampaknya kerinduan sudah terbayar lunas. Namun, bagiku masih belum. Kau harus membayarnya lagi. Kau mengerti maksudku, kan?

Post a Comment

0 Comments