Telanjur Basah

Pernah suatu saat aku berbicang dengan dua teman yang dulu dekat saat berorganisasi di kampus. Pembicaraan kami bisa dibilang tak tentu arah, seringnya melantur. Namun, kami paling sering membicarakan mengenai perihal jatuh cinta.

"Buatku cinta itu kayak kolam besar berisi air," saat itu Miranda mengatakannya dengan pandangan menerawang, setelah Bekti bercerita mengenai hatinya yang terus-terusan biru.

"Kolam berisi air?" Bekti mengernyit heran. 

Miranda berdeham. "Iya. Kamu harus berani tenggelam untuknya. Dan begitulah kamu sekarang. Kamu sudah tercebur. Bagaimanapun caramu berusaha untuk tidak tenggelam, kamu sudah basah. Bukankah sulit untuk mengeringkannya?"

Aku menyimak pembicaraan mereka dengan hati gamang. 

Jatuh cinta?

Kupikir aku belum memiliki keberanian untuk tercebur jika meminjam istilah Miranda. Aku hanya berani melongok, melihat dari permukaan. Aku sama sekali belum memiliki keinginan untuk merasakan basahnya kolam itu.
"Kenapa bengong?" tanya Miranda padaku.

Aku tergagap, lalu tertawa sumir. "Bukan apa-apa. Aku hanya kepikiran."

"Mungkin kamu memungkiri perasaan itu, Tha. Namun, sebenarnya kamu sudah tercebur," kata Miranda. "Siapa sih, Tha?" tanyanya penuh selidik.

Aku menggeleng. "Tidak ada, Miranda."

Miranda mengedikkan bahu lalu kembali berbicara pada Bekti.

Pikiranku kosong seketika. Aku memungkiri perasaanku? Apakah itu benar?

Sekonyong-konyong terlintas sosok dalam benakku. Sejak awal, aku tahu aku tertarik padanya. Aku hanya berusaha menikmati keindahan itu, meski banyak yang bilang tak elok. Atau mungkin saat itu aku telanjur buta? Atau memang dirinya memiliki pesona yang rasanya kontradiktif? 

Aku kembali berusaha menyimak percakapan Miranda dan Bekti yang menarik. Namun, tetap saja perasaanku sesak, seolah kehabisan oksigen saat sosok itu muncul di benakku.

Aku berusaha berpikir jernih. Dan saat itu aku sadar bahwa eksistensinya adalah anestesi. Dan entah sejak kapan, aku sadar bahwa aku sudah menceburkan diriku ke kolam itu. Hatiku telanjur basah dengan perasaan yang Miranda bilang adalah cinta, basah dengan prasangka-prasangkaku sendiri, dan basah dengan kebodohan-kebodohanku sendiri. 

Berapa tahun sampai akhirnya aku baru menyadari hatiku sudah basah? Yang paling penting, berapa tahun sampai akhirnya aku bisa mengeringkan hatiku yang telanjur basah ini?

"Tha, ayo pulang," rajuk Bekti. "Udah malem nih."

Aku tergagap, lalu mengiakan ajakan Bekti. Kulihat Miranda juga sudah bersiap-siap.

Aku pun memasukkan barang-barangku ke tas.

Kami keluar ruang BEM. Kami pun berpisah di halte bus kuning. 

Sementara itu, hatiku mencelus. Otakku masih berkelindan mengenai kolam yang Miranda sebutkan tadi.

Mungkin... ya, mungkin... pengakuan adalah cara mengeringkan paling ampuh. Namun, mampukah aku mengakui padanya? Atau aku terlalu pengecut untuk mendeklarasikan pengakuanku padanya. Bagaimana jika dia mengabaikanku? Tak menerima respons darinya saja membuat dadaku sesak. 

Aku mengembuskan napas. Sudahlah, aku tahu sejak awal hubungan yang sempat tebersit di otakku itu takka pernah ada. Jadi, lupakan. 

Bus kuning datang, aku pun masuk bersamaan dengan para mahasiswa lain. Aku duduk di belakang bus, sementara hatiku masih tak mau berhenti berpikir. Di antara dinginnya pendingin bus, aku menggumam dalam hati, "Aku akan berusaha mengeringkan hatiku yang telanjur basah ini. Bagaimana caranya, aku sendiri belum tahu."

Post a Comment

0 Comments