New York mungkin berada di urutan teratas daftar kota yang paling banyak dijadikan setting cerita atau film. Di beberapa film Hollywood, mulai dari Nora Ephron's You've Got Mail hingga Martin Scorsese's Taxi Driver, New York bahkan bukan sekadar setting namun tampil sebagai "karakter" yang menghidupkan cerita.
Ke kota itulah Raia, seorang penulis, mengejar inspirasi setelah sekian lama tidak mampu menggoreskan satu kalimat pun.
Raia menjadikan setiap sudut New York "kantor"-nya. Berjalan kaki menyusuri Brooklyn sampai Queens, dia mencari sepenggal cerita di tiap jengkalnya, pada orang-orang yang berpapasan dengannya, dalam percakapan yang dia dengar, dalam tatapan yang sedetik-dua detik bertaut dengan kedua matanya. Namun bahkan setelah melakukan itu setiap hari, ditemani daun-daun menguning berguguran hingga butiran salju yang memutihkan kota ini, layar laptop Raia masih saja kosong tanpa cerita.
Sampai akhirnya dia bertemu seseorang yang mengajarinya melihat kota ini dengan cara berbeda. Orang yang juga menyimpan rahasia yang tak pernah dia duga.
The Architecture of Love by Ika Natassa
Gramedia Pustaka Utama, 304 halaman
ISBN 9786020331195
* * * *
Aku menyelesaikan novel ini tanggal 26 Mei 2016, sebagai salah satu orang yang beruntung bisa membacanya sebelum novel ini beredar di toko buku. Karena aku termasuk yang suka tulisan Ika Natassa, ya tentu saja langsung aku baca tanpa harus berpikir lagi.
Novel ini juga bekerja sama dengan Twitter Indonesia (lewat PollStory, tapi aku nggak mau membahasnya, jadi lewati saja ya) dalam menentukan plot cerita.
The Architecture of Love menceritakan tentang Raia Risjad, penulis best seller yang pernah bercerai. Raia yang vakum menulis novel selama tiga tahun. Perempuan itu akhirnya memilih New York sebagai kota mencari inspirasi. Sebenarnya Raia hanya perlu seorang muse. Selama ini, muse-nya menulis adalah mantan suaminya. Sejak bercerai, Raia tak lagi memiliki muse menulis, sampai akhirnya dia bertemu dengan River, laki-laki penuh misteri yang juga memiliki kepahitan hidup.
Langsung saja deh kita bahas novel ini. Pertama, aku suka banget dengan karakter Raia yang seorang penulis. Rasanya Raia seperti sosok horcrux seorang Ika Natassa. Yah, susah sekali melepas image penulisnya sendiri, apalagi Raia novel-novelnya best seller, dan juga dibuat filmnya. Pendalaman karakter penulis ini gampang banget buat pembaca dekat. Maksudku, tiap "pembaca" pasti punya penulis idola, kan? Jadinya pembaca bisa tahu "pola pikir" penulis idolanya. Yah, meski dalam segmen ini adalah penulis novel pop.
Kedua, aku suka dengan gaya bercerita Ika Natassa. Memang nggak perlu diragukan lagi, kan? Tapi kali ini penulis mengusung PoV 3, yang sangat terasa PoV 1. Aku agak terganggung ketika ada perpindahan sudut pandang. Dari serbatahu, sekonyong-konyong berubah jadi PoV 1 River dan PoV 1 Raia. Saat pergantian sudut pandang, aku sempat bersungut-sungut. PoV 3 yang digunakan juga sangat samar dengan PoV 1 yang biasa Ika gunakan. Tapi, tetap saja, Ika Natassa juara soal bernarasi.
Ketiga, aku punya love hate relationship dengan deskripsi New York dalam novel ini. Sebenarnya pas, tapi kadang terlalu mendetail.
Keempat, aku suka dengan "kehidupan" Raia ataupun River. Tampaknya karakter di novel ini lebih membumi dibandingkan dengan novel-novel Ika yang lain. Me like Raia, badly.
Kelima, soal plot, rasanya terasa lebih hambar dibandingkan dengan novel-novel sebelumnya. Yah, ini selera pribadi saja sih. Rasanya terkesan... ya udah. Bahkan aftertaste novel ini sekadar... "Aku suka novel ini. Just it."
Keenam, typo samarnya lumayan.
Done. Mungkin segitu saja yang mau kubahas. Dengan segala kekurangan dan kelebihan novel ini, aku tetap menyematkan "I like it". Ditunggu novel barunya ya, Ika Natassa!
0 Comments