[28] Critical Eleven by Ika Natassa


Critical Eleven
Ika Natassa
Gramedia Pustaka Utama, 344 halaman
Limited Edition, Juli 2015


Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—
karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya 
terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu.
It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. 
Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, 
dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.

Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.

Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, 
setiap babnya merupakan kepingan puzzleyang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.



***


Mungkin resensi ini menampilkan blurb untuk menelaah kisah apa yang disajikan oleh Critical Eleven ini. Tapi, aku sendiri nggak membaca sinopsis sama sekali. Hanya berbekal ingatan akan cerita pendek berjudul sama pada kumpulan cerpen Autumn Once More saja.

Awalnya, aku juga nggak terlalu berharap mendapatkan limited edition novel ini. Iseng aja, teman juga titip. Konfirmasinya juga sehari sebelum novel ini sampai di rumah. Dan sekadar peringatan, resensi ini mungkin berisikan spoiler.

Lalu aku pun mulai membuka halaman kisah seorang manager consultant bernama Tanya Laetitia Baskoro. Dia cantik dan cerdas. Kenapa aku bisa mengatakan Anya—panggilan Tanya—ini cerdas? Tentu dari bagaimana ia bertutur. Bagaimana cara Anya menceritakan kehidupannya, penganalogiannya… nggak bisa dimungkiri Anya memang cerdas. Dan si cantik cerdas ini bertemu seorang potreleum engineer bernama Aldebaran Risjad—Ale. Pertemuan sejenak di pesawat terbang yang membuahkan percakapan hangat yang berujung pada frekuensi pertemuan yang menjadi semilir bagi mereka berdua.

Hal yang aku syukuri karena nggak membaca sinopsis adalah… aku nggak berekspektasi apa pun. Memang, aku sudah membaca novel-novel Ika Natassa sebelumnya (kecuali Twivortiare 2), dan aku suka. Dan di novel ini, aku bisa bilang adalah karya terbaiknya—tentu menurutku. Aku diberikan hal-hal nggak terduga, yang bisa dikatakan sebagai twist kecil. Menyenangkan sekali membacanya. Selain itu, novel ini juga sangat “padat”, nggak bertele-tele.

Rumah tangga. Bagaimanapun, pasti ada saja percikan api, kan? Ada saja kendala yang membuat sepasang suami istri bertengkar. Mungkin alasan Anya dan Ale bertengkar bisa dibilang biasa—dalam artian biasa ditemukan dalam banyak rumah tangga.

Bahkan awalnya aku menyayangkan sikap Anya yang begitu egois. Begitu kekanakan. Tetapi pada akhirnya aku paham. Bahwa kata-kata adalah pedang yang begitu tajam, yang bisa membuat luka di hati. Aku tahu bahwa bagaimanapun Anya juga manusia. 

Awalnya aku bersimpati pada Ale. Rasanya begitu besar yang ia berikan untuk Anya meskipun istinya nggak pernah merespons. Tapi… aku juga menyalahkan mulut bodohnya itu. Tapi perjuangan yang dilakukannya membuatku paham bahwa untuk membenahi suatu masalah memang haruslah dengan tindakan.

Critical Eleven adalah novel padat nan cerdas yang juga bisa membuat perasaanmu sesak dan hangat dalam waktu bersamaan. Rasanya aku mengikuti kisah Anya dan Ale saat pendekatan, saat memulai pernikahan, bagaimana Anya memanggil Ale dickhead, bagaimana mereka suka “berperang” dengan memo “nakal” di setiap sudut, dan semuanya. Meskipun sarat flashback, Ika Natassa mampu meramunya dengan sangat baik. Eksekusinya jempolan. Satu hal lagi, banyak sekali kalimat quotable di novel ini.

Selain itu, hebatnya—seenggaknya buatku—Ika Natassa bisa menampilkan sudut pandang Ale sebagai laki-laki utuh. Kurasa Ale begitu maskulin meskipun menurut beberapa orang tokohnya begitu TGTBT. Tapi rasanya nggak juga. Toh ada kelemahan yang juga dimiliknya.

Lulusan teknik dan manajemen. Mungkin itu yang membuat beberapa orang bilang novel ini “menjual mimpi”. Opiniku berkata lain. Novel ini justru menceritakan bahwa di setiap kehidupan yang “tampak” bahagia, selalu ada lubang hitam. Tergantung bagaimana menampilkannya pada dunia luar.

Dan aku baru sadar bahwa nggak ada label “Metropop” di sampul novel ini. Tapi aku tetap memasukkannya sebagai kategori tersebut…


Aku menanti-nantikan novel Ika Natassa selanjutnya!

Post a Comment

0 Comments