kakiku menyusuri trotoar yang tak kukenal
tapi rasa kecewa ini terasa akrab—
seperti luka lama yang tahu persis
kapan harus membuka diri dan berdenyut lagi.
kulihat lagi fotomu,
dengan senyum yang kauberikan pada dunia,
bukan padaku.
kau bilang butuh jeda,
padahal kau sedang berlayar
menuju pelukan yang tak menyisakan ruang untukku
tak ada butuh waktu sendiri
jika nyatanya kau menaruh bahagia
di tangan orang lain,
sementara tanganku
hanya memegang sisa percakapan
yang tak pernah kaubalas.
dulu ada satu yang juga seperti itu.
pergi tanpa menjelaskan apa pun.
dan kini kau datang
mengulang pola luka
dengan baju berbeda.
kenapa harus selalu begini?
kenapa aku harus selalu menjadi yang tertinggal
dengan jantung berisik
dan kepala yang sibuk menyusun alasan
untuk membela kepergian yang tak pernah sopan?
aku ingin marah,
tapi yang keluar hanya
diam yang pecah di dalam dada.
mungkin memang tak ada
tempat pulang untukku.
mungkin aku hanya diciptakan
hanya untuk singgah—
sekadar jeda dalam hidup orang lain.
percaya tak lagi terasa wajar
karena kini aku melihat semua mata
seperti bayangan samar
yang bisa kabur kapan pun.
namun nanti,
mungkin nanti,
aku akan jadi manusia biasa-biasa saja:
tak lagi menuntut keajaiban,
tak lagi berharap pada balasan,
dan cukup hidup tanpa perlu dijatuhkan.
nanti aku akan merasa aman
dalam pelukan diriku sendiri.
tapi sekarang,
aku masih di sini—
menyusun hatiku
yang berserakan di antara jejak langkah
dan kenangan yang kausimpan
tanpa niat untuk kembali.
Bangkok, 8 Juni 2025
0 Comments