[70] Frankly in Love: Kisah Cinta Remaja Berbalut Keluarga Rasis

Judul
Frankly in Love

Penulis 
David Yoon



Penerjemah: Daniel Santosa
Desain sampul: Staven
Gramedia Pustaka Utama, 416 halaman
ISBN13 9786020631691





Pada tahun terakhirnya di SMA, Frank Li, seorang Limbo—istilah yang dia pakai untuk menyebut anak-anak Korea-Amerika—terjebak di antara ekspektasi orangtua yang tradisional dan kehidupan modern California Selatan. Orangtuanya punya satu aturan dalam pacaran—“Hanya boleh dengan orang Korea”—yang menjadi rumit ketika Frank menaksir Brit Means, yang cerdas, cantik—dan berkulit putih.

Sebagai sesama Limbo, Joy Song juga terjebak dalam masalah yang sama dan mereka membuat perjanjian: mereka akan pura-pura pacaran supaya bisa mendapat sedikit kebebasan. Frank merasa rencananya sempurna, tapi pada akhirnya, taktik pura-pura pacaran ini membuat Frank bertanya-tanya apakah dia benar-benar mengerti apa itu cinta—atau siapa dirinya.


* * *

Meski belum baca sinopsis novel ini, entah kenapa aku merasa sangat tertarik. Pertama, marga Yoon. Apakah ada hubungannya dengan Nicola Yoon? Ternyata memang suami-nya. Oke. Patut diperhitungkan. Kedua, kovernya sarat makna. Ketiga, penasaran kalau novel YA ditulis oleh laki-laki (kayaknya bakal jadi referensi menyenangkan selain novel karya John Green). Keempat, pas baca sinopsis, menceritakan tentang kutu buku dan juga soal keluarga Korea di Amerika Serikat. Menarik! Setelah membaca betapa strugling-nya para remaja keturunan Tiongkok (Taiwan) di Amerika Serikat dalam novel American Panda, sekarang giliran para remaja Korea! Jadi, mari kita membaca Frankly in Love dengan sukacita.

Frankly in Love menceritakan pemuda bernama Frank Li (terdiri atas tujuh huruf yang merupakan angka keberuntungan). Kakaknya pun juga punya susunan total huruf yang sama, yang mencerminkan keberuntungan. Sayangnya, kakak Frank "pergi" karena nggak diterima di dalam keluarganya. Hal itu juga dikarenakan dia menikah dengan laki-laki yang bukan keturunan Korea. Dari situ, Frank selalu berhati-hati kalau pengin berargumen dengan orangtuanya yang sangat rasis.

"Arguing with Mom-n-Dad is pointless, because the wind will blow wherever it wants according to its own infuriating wind-logic." 

Atmosfer rasis di dalam keluarga Frank tuh kental banget. Aku ngerasa miris pas orangtuanya berkata soal orang Tiongkok yang suka ber-cang cing cong. Itu kejadian dalam keseharian banget nggak sih? Dulu waktu kecil, banyak temen-temen gue yang suka mengolok-olok orang Tiongkok dengan bahasa begini.

Mungkin kita nggak sadar banyak orangtua (meski memang nggak semua) yang begitu rasis entah soal urusan ras maupun agama. Dan itu bikin kita terdoktrin sejak kecil. Untungnya, nggak selamanya doktrin itu mengendap. Dengan banyak faktor, para anak mereka lebih terbuka soal hal "toleransi". Yah, meski memang sulit banget. Mungkin novel ini pun lahir dari kegelisahan penulisnya akan maraknya hal-hal yang jauh dari kata toleransi tersebut, yang dibawa oleh orang tua pendahulu. Yang berpikir kalau ras dan agama tertentu yang mereka bawa, adalah yang terbaik.

Novel ini dimulai dengan Frank yang naksir cewek yang nggak termasuk Limbo (alias cewek non-Korea) bernama Brit Means. Dia mesti bikin siasat. Akhirnya Frank punya taktik biar dia berpura-pura pacaran dengan Joy Song, cewek Korea kece yang juga pacaran sama cowok Tiongkok (yang mana nggak dibolehin sama tradisi keluarga mereka). Dan, ketika pura-pura pacaran itu dilakukan, mereka berdua sudah kayak menang undian yang hadiahnya menakjubkan. Segalanya dimudahkan oleh orangtua mereka. Bahkan mereka nggak punya jam malam selagi berduaan. Wow.

Cerita pun bergulir, bagaimana Frank yang selalu dibantu oleh Q (sahabat cowoknya) dalam bersandiwara berpacaran dengan Joy. Padahal kalo ketemuan, mereka ya ketemu pacar masing-masing. Dan cerita makin rumit karena ada benih-benih cinta yang muncul~ haduh~

"Everyone occasionally harbors the secret wish to be free from their parents’ rules and constraints. Everyone fantasizes now and then of living untethered from the burden of family. But fuck, I just felt the string connecting me to Dad yanked hard by forces beyond my control, and all I can feel is relief that it did not snap."

Membaca novel ini, aku seolah diingatkan lagi dengan kegelisahan yang pernah aku rasakan, yang mana terangkum dengan pemikiran Frank. Bacanya tuh bikin aku mengangguk-angguk setuju. Jadi, itu yang bikin aku suka karakter Frank. Dengan ke-geek-annya, entah kenapa seru aja bisa baca pemikirannya.

"Let me tell you something. I live to make people laugh. Parents, siblings, friends, lovers, doesn’t matter. I just have to. If you for some reason don’t know how to make someone laugh, then learn. Study that shit like it’s the SAT. If you are so unfortunate as to have no one in your life who can make you laugh, drop everything and find one. Cross the desert if you must. Because laughter isn’t just about the funny. Laughter is the music of the deep cosmos connecting all human beings that says all the things mere words cannot."

Yang jadi poin plus novel ini adalah soal kultur orang Korea yang tinggal di AS ini cukup terasa nyata. Mungkin karena David Yoon juga bagian dari sana? Entahlah. Namun, aku cukup tertarik dengan tradisi pertemuan yang diadakan para orangtua Limbo ini. Kisah cinta Frank yang super-acakadut ini juga menarik. Karena bukan cuma cowok-cowok populer yang bisa jadi player, seorang geek pun bisa! Karakter yang menarik selain Frank, tentu aja Q dan Brit Means.

Lucunya, dalam Frankly in Love, meski kentara, aku tetap kaget saat David Yoon membuka lapis demi lapis plot. Agak tricky dan menjebak, tapi David Yoon memang mahir bikin plot yang bikin pusing. Yang mana eksekusinya bagus. Selain itu, gaya menulis Yoon cukup otentik, terasa mirip John Green dengan rasa geek-nya. Namun, aku lebih suka gaya menulis David Yoon, mungkin karena gue lebih suka plot yang ada di novel ini.

Singkat kata, aku merasa amat sangat menikmati Frankly in Love. Padahal kan novel ini baru terbit ya, eh tiba-tiba ada pengumuman kalau bakalan ada sekuelnya. Tadinya aku mengira novel ini open ending. Tapi ternyata oh ternyata.

Aku sangat merekomendasikan novel remaja ini buat dibaca!

"It makes me realize: love is a belief mutually held. As soon as that belief fades on either end, then poof, the whole thing falls face-flat like a tug-of-war suddenly gone one-sided."

Post a Comment

0 Comments