[56] Forgiven: Aura Sama dalam Buku yang Terbit Beberapa Tahun Lalu




William Hakim yang dikenal Karla adalah sesederhana teman baik yang ia temui setiap hari, sahabat dengan kesetiaan tanpa pamrih, dan remaja dengan mimpi serta rahasia-rahasianya yang khas. Selama tahun-tahun masa muda mereka yang penuh cerita, Will si jenius Fisika seakan memiliki segala hal, dan mampu menghadapi apa pun. Ia pasti bagai pendulum, benderang seperti matahari, dan senantiasa ada laksana Polaris di utara Bumi.

Lalu, musim El Nino tiba, dan Will menghilang.

Musim demi musim berikutnya yang dilewati Karla tanpanya kian lama kian menjadikan sosok William Hakim sebuah enigma belaka. Ia semakin terasa nyata dan tidak, kenangan tentangnya bagai pengkhianatan, dan Karla kian tak memercayai apa pun.

Hingga suatu hari tiba, dan Karla mendapat kesempatan untuk menemuinya lagi. Pada hari itu, ia juga dihadapkan pada dua pilihan: untuk pergi dan melunaskan segenap dendam, atau kembali kepada Will dan memaafkan.

Forgiven, Morra Quatro
Bookslife, 246 halaman

* * *

Forgiven memiliki Will sebagai tokoh sentral meski sudut pandang cerita berasal dari Karla. Will merupakan tokoh kunci yang menggerakkan plot dari novel ini. Will yang bukan juara kelas tapi penggemar fisika, Will yang selalu ada untuk Karla, dan Will yang selalu terasa jauh karena nggak ada seorang pun yang tahu apa yang ada di benaknya.

Aku sudah pernah baca Forgiven yang mana saat itu diterbitkan oleh Gagas Media. Bahkan, novelnya masih ada di rak. Lalu, beberapa tahun kemudian, alias sekarang, Morra Quatro membuka pre-order untuk sekuel Forgiven berjudul Break Even, sekaligus cetak ulang Forgiven itu sendiri—dan kali ini menerbitkan secara indie.

Bagi beberapa pembaca Forgiven, sosok Will akan terus terkenang. Buatku yang memberikan rating tiga bintang (yang tentu dalam artian “suka” seperti definisi di Goodreads) buat novel ini pun masih ingat sosok Will. Dan, tentu penasaran akan kelanjutan kisah Will—dan tentu aja Karla.

Aku pun membaca ulang novel ini dengan versi cetakan baru. Beberapa poin singkat tentang Forgiven:
  1. Dari segi teknis, karena ini dicetak secara indie, udah cukup oke banget. Bahkan masuk ke tata letak bukunya. Untuk salah ketik atau segala macam memang kurang, tapi udah oke banget. Aku nggak sampe nulisin satu-satu, tapi yang jelas lebih ke arah beberapa kata yang lupa dikursif atau padanan bahasa Indonesia yang sebenarnya ada.
  2. Dari segi tokoh, sosok William ini benar-benar magnet dan menggerakkan plot cerita. Bahkan sosok Karla—alias “aku”—tenggelam. Untuk sudut pandang orang pertama, menurutku Morra Quatro berhasil banget buat karakter Karla yang begitu “mendamba” sosok Will. Agak OOT dikit soal plotnya, sayangnya di bagian transisi dari kelulusan SMA sampai kuliah, terasa jumpy banget alur waktunya. Dan bagian saat Karla mendengar cerita dari istri Will itu terasa patah banget, meski sebenarnya penulis cukup cerdik mengatasi bagaimana "bab" dijalankan.
  3. Masih dari segi tokoh, aku ngerasa berbagai karakter geng Karla cuma sekadar tempelan semata. Padahal aku mengira mereka yang bakal muncul pada saat-saat genting dalam hidup Karla maupun Will. Sebenarnya memang agak sulit sih ya dengan lapisan plot yang diusung Morra dalam Forgiven ini. 
  4. Yang paling aku suka adalah bagian cerita di awal-awal SMA. Terasa dekat, mungkin? Sentuhan personalnya juga terasa. Dengan subkonflik yang ditampilkan pun aku ngerasa sisi “young adult”-nya terasa.
  5. Poin ini masuknya selera pribadi. Aku nggak terlalu suka dengan tetek bengek pengeboman, masuk penjara, dan sebagainya. Tapi bukan berarti hal itu buat aku jadi “benci” sama novel ini. Aku cuma ngerasa mengawang-awang karena duniaku terlalu “sempit” untuk konflik kayak begitu yang mana segmen awal cerita ini kukira adalah remaja.
  6. Penulis jelas-jelas punya daya magnet tulisan yang oke dengan kekayaan ilmunya. Terbukti dengan narasi maupun dialog antartokoh yang cerdas banget. Duh, rasanya aku kayak gemerutukan rengginang kalo dibanding sosok Will ini. Aku sih kerjaannya cuma mikir gimana caranya dispensasi pas ada acara teater atau  paduan suara. Apalagi fisika satu-satunya pelajaran IPA yang menurutku malesin banget, hehe.
  7. Dan yang paling favorit adalah "aura" buku ini yang terasa sama. Bahkan saat beberapa tahun lalu saat awal aku baca dan sekarang. Kalo begini sih emang "gaya menulis"-nya yang udah bagus.

Mungkin segitu doang sih dariku. Masih belum kepikiran untuk ngelanjutin Break Even. Perlu jeda, cuy! Maunya sih baca yang ringan-ringan dulu.

Post a Comment

1 Comments

Anonymous said…
Halo kakaaa. Kalo aku beli breakevennya apakah kakak bersedia?