Saat berusia delapan tahun, aku memiliki impian. Impian itu tak muluk, malah justru sederhana. Aku ingin memiliki rumah yang luasnya sama seperti rumahku sekarang—yang artinya tak terlalu besar dan juga tak terlalu kecil. Rumahku nanti memiliki halaman asri dengan pohon mangga, jambu, dan belimbing. Tak lupa kolam ikan kecil, juga petak-petak batu lonjong yang bertebaran di antara rerumputan. Rumah yang sederhana. Rumah impianku.
Saat itu aku memiliki impian memiliki pekerjaan yang tak kalah sederhana—meski aku juga tidak tahu apa pekerjaan sederhana itu nantinya. Dengan gaji yang bisa mencukupiku dan keluarga kecilku, juga merawat rumah impianku itu. Nantinya aku akan sering-sering membeli buku-buku kesukaanku untuk dibaca olehku dan pasanganku, yang tentunya jadi aktivitas saat kami terlalu letih dengan pekerjaan kami. Di rumah itu, ada empat kamar: satu kamar untukku dan pasanganku; satu kamar untuk anak tunggalku; satu kamar untuk tempat pasanganku melakukan hobinya; satu kamar yang hanya berisi rak buku dan buku-buku favoritku—juga favorit pasanganku.
Rumah impian yang terlalu sederhana—tapi kelewat spektakuler untuk anak laki-laki berusia delapan tahun. Namun, memang begitulah yang kuinginkan. Aku tak pernah ingin memiliki rumah mewah bak kastel yang selalu diidam-idamkan teman-teman sekolahku. Aku tak pernah memimpikan punya mobil mewah yang kata teman-temanku harganya miliaran rupiah. Aku hanya ingin rumah impianku itu. Aku tak peduli nantinya aku punya kendaraan pribadi atau tidak. Tak masalah asal aku memiliki rumah itu.
Sayangnya, seiring waktu yang merayap maju secara diam-diam, aku mulai melupakan rumah impianku. Aku mulai menjejakkan kaki di berbagai tempat yang membuatku terpaksa mengenyahkan impian sederhana itu. Aku dipaksa untuk melihat hal-hal melenakan yang membuat impianku itu seperti khayalan bodoh anak kecil.
Sayangnya, seiring waktu yang merayap maju secara diam-diam, aku mulai melupakan rumah impianku. Aku mulai menjejakkan kaki di berbagai tempat yang membuatku terpaksa mengenyahkan impian sederhana itu. Aku dipaksa untuk melihat hal-hal melenakan yang membuat impianku itu seperti khayalan bodoh anak kecil.
Lambat laun, impian sederhanaku terlupakan, justru bercokol impian temporer yang ada di benakku. Impian temporer; impian yang hanya memiliki jangka waktu pendek. Impian pendek yang harus kuraih seperti keinginan traveling, memiliki gawai terkini, makan di restoran yang ramai di Instragram, dan sebagainya. Semua itu membuatku lupa akan rumah impianku. Bertahun-tahun aku tak mengingat rumah impianku.
Lalu, tiba-tiba seseorang datang. Sosok itu sama seperti orang lain yang memiliki impian jangka panjang juga jangka pendek. Dia ambisius dengan karier dan memanfaatkan probabilitas sebaik-baiknya. Eksistensinya menyadarkanku bahwa selama ini impian temporerku terlampau sempit dalam dunia yang luas. Hal itu membuatku takut kalau nantinya aku akan terus seperti ini.
Dan saat itulah aku kembali mengingat rumah impianku. Rumah yang sudah kulupakan sejak bertahun-tahun lalu, bahkan kalau kuingat lagi, sejak lulus SD. Entah kenapa keberadaannya justru membuat serbuan memori akan rumah impian itu datang.
Di sisi lain, kehadirannya mulai membuatku merasa perlu meredefinisi akan kata rumah, bahkan rumah impian. Kedatangannya yang tanpa pretensi membuatku bertanya, apa sebenarnya yang dimaksud dengan rumah? Apakah sekadar bangunan tempat beristirahat dan tidur di malam hari? Bangunan yang selalu disinggahi untuk bermalas-malasan sambil menonton televisi? Bangunan yang dibeli dengan desain sedemikian rupa agar betah di sana, sekaligus tempat agar keturunan kelak kerasan berlama-lama di sana? Apakah memang itu arti rumah?
Namun, aku sadar. Bahkan rumah yang kutinggali sekarang hanya bangunan tua berdinding putih yang catnya sudah mulai mengelupas. Bahwa rumah yang sering membuatku tertidur sekadar bangunan tempat aku menghabiskan waktu untuk terlelap. "It's just a house, not a home," kataku saat itu.
Aku makin paham bahwa arti "rumah" lebih daripada itu. Aku sendiri tak bisa memverbalkannya. Aku tak bisa memberikanmu akan arti rumah versiku karena begitu rumit. Lebih kompleks daripada rumah impian yang sudah kusebutkan di awal paragraf. Sekarang, rumah impianku berubah. Dan sosok itu melingkupi semua definisi rumah yang berkelindan di benakku. Dia adalah rumahku. Rumah impianku.
Saat itu aku mulai sadar agar segera membenahi diriku sendiri. Aku ingin menjadi rumah berpondasi kuat dengan perabot-perabot yang membuatnya nyaman. Aku ingin menjadi rumah yang membuatnya bangga. Aku ingin menjadi rumahnya, tempat yang bisa membuatnya lebih tenang dengan kekacauan realita yang diembannya.
Ya, setelah aku tahu dia adalah rumah impianku, aku ingin menjadi rumah impiannya.
Sayangnya, tak semudah itu. Aku hanya bangunan dengan cat yang sudah mengelupas di sana-sini meski sudah dicat berkali-kali. Aku hanya bangunan yang atapnya sudah bocor jika kehujanan, bahkan terkadang menguarkan bau busuk jika tidak diperbaiki. Aku hanya bangunan dengan ubin yang sudah retak-retak, begitu pula semen yang menjadi perekatnya. Untuk menjadi rumah impiannya, aku harus merenovasi total diriku sendiri, bukannya merenovasi sedikit demi sedikit karena hanya akan berujung pada hal sama yang ujung-ujungnya takkan pernah ada sedikit pun perbaikan bangunan.
Sekarang aku tahu bahwa dirinyalah rumah impianku.
Meski sampai nanti, aku tahu aku bukanlah rumah impiannya.
Mungkin satu-satunya keinginanku sekarang adalah memiliki rumah impianku yang dulu. Rumah impian versi diriku yang berumur delapan tahun dengan sedikit revisi: hanya aku sebagai tuan rumah.
Aku makin paham bahwa arti "rumah" lebih daripada itu. Aku sendiri tak bisa memverbalkannya. Aku tak bisa memberikanmu akan arti rumah versiku karena begitu rumit. Lebih kompleks daripada rumah impian yang sudah kusebutkan di awal paragraf. Sekarang, rumah impianku berubah. Dan sosok itu melingkupi semua definisi rumah yang berkelindan di benakku. Dia adalah rumahku. Rumah impianku.
Saat itu aku mulai sadar agar segera membenahi diriku sendiri. Aku ingin menjadi rumah berpondasi kuat dengan perabot-perabot yang membuatnya nyaman. Aku ingin menjadi rumah yang membuatnya bangga. Aku ingin menjadi rumahnya, tempat yang bisa membuatnya lebih tenang dengan kekacauan realita yang diembannya.
Ya, setelah aku tahu dia adalah rumah impianku, aku ingin menjadi rumah impiannya.
Sayangnya, tak semudah itu. Aku hanya bangunan dengan cat yang sudah mengelupas di sana-sini meski sudah dicat berkali-kali. Aku hanya bangunan yang atapnya sudah bocor jika kehujanan, bahkan terkadang menguarkan bau busuk jika tidak diperbaiki. Aku hanya bangunan dengan ubin yang sudah retak-retak, begitu pula semen yang menjadi perekatnya. Untuk menjadi rumah impiannya, aku harus merenovasi total diriku sendiri, bukannya merenovasi sedikit demi sedikit karena hanya akan berujung pada hal sama yang ujung-ujungnya takkan pernah ada sedikit pun perbaikan bangunan.
Sekarang aku tahu bahwa dirinyalah rumah impianku.
Meski sampai nanti, aku tahu aku bukanlah rumah impiannya.
Mungkin satu-satunya keinginanku sekarang adalah memiliki rumah impianku yang dulu. Rumah impian versi diriku yang berumur delapan tahun dengan sedikit revisi: hanya aku sebagai tuan rumah.
4 Comments
Saya tergerak untuk meninggalkan komentar, karena impian saya sewaktu kecil, punya rumah di atas bukit yang dikelilingi lautan. Setiap dalam perjalanan pergi dan pulang dari sekolah saya sering mengkhayalkan bagaimana rasanya. Sungguh impian yang luar biasa karena waktu itu saya tinggal di Pekanbaru, Riau yang letaknya jauh dari lautan, orangtua saya pun hanya pegawai negeri biasa. Siapa menyangka sepuluh tahun berikutnya, saat saya masuk SMA, ayah saya dipindahtugaskan ke Provinsi Kepulauan Riau dan jenjang karirnya meningkat sehingga perekonomian keluarga membaik pula. Alhamdulillah, rumah impian saya terwujud, di atas bukit dengan pemandangan laut di sekeilingnya, meskipun rumah milik orangtua.
Eeh setelah menikah dan menemukan 'rumah' yang baru, ternyata posisinya sama persis di lokasi pulau yang berbeda ;)
Tetap semangat yaaaa... Tuhan maha kaya, bisa jadi, kelak rumah sejatimu akan lebih indah dari yang selama ini diimpikan. aamin.
Iya, bismillah aja ya gimanapun rumah impian saya nantinya :)
Waktu awal-awal baca, kebayangnya rumah dengan pengertian yang sebenarnya. Tapi di 6 paragraf terakhir, kok bayangan saya bukan rumah impian, melainkan rumah masa depan. 1x2 meter. Astaghfirullah, saya udah bikin dosa sama Kak Utha.