Teruntuk Dy

Apa kabar, Dy?

Mungkin ini bukan pertama kalinya aku menulis surat, mengkristalkan pikiranku lewat aksara, bukannya menemuimu dan berdeklarasi langsung. Semoga kau tahu, aku tidak pandai memverbalkan apa yang kurasakan lewat tindakan.

Masihkah kau suka dengan candaan yang tak pernah berujung? Masihkah kau suka tertawa renyah saat merespons lelucon seseorang? Masihkah kau tampak menyebalkan saat merajuk?

Ah, bodohnya aku menanyakan hal itu kepadamu. Kebiasaan itu tidak akan berubah, bukan? Apa kau masih ingat bahwa aku kerap memergokimu sedang menatapku di kelas, lalu kau memalingkan wajahmu?

Dan saat-saat itulah yang kurindukan. Saat frekuensi pertemuan kita masih sering. Tatkala melihat senyummu adalah sesuatu yang tak langka. Waktu lampau yang begitu candu, bahkan sampai sekarang, di mana melihat bayangmu tak lagi ada.

Bahkan saat waktu berjumpa mulai susut karena kesibukan, kadang aku terus memikirkanmu, Dy. Dan mungkin beberapa waktu yang lalu adalah saat terakhir kita untuk bercerita, ya? Kau masih sama, tatapanmu pun masih sama.

Tapi aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa perasaanku sudah tidak layak.
Kata orang, I have to move on.





Tapi bagaimana aku bisa bergerak sementara saat itu imajinasi tentangmu lekat mengikat kedua kakiku sehingga aku tak bisa lagi melangkah?

Bahkan aku sama sekali tidak pernah sadar saat benakku mulai kausinggahi. Bahwa eksistensimu membuat semua ragaku kaku tak dapat bergerak. Jadi mana mungkin kalau aku bisa move on? Dan mungkin, kau tak pernah sadar ya, Dy? Kau tak pernah tahu bahwa kau selalu memesona. Pesona mematikan yang selalu membuatku bisu. Membuat lidahku kelu padahal seharusnya aku adalah laki-laki cerewet yang mudah bermain dengan kata-kata.

Lucu, ya. Maksudku, perasaan itu begitu lucu. Apakah kau tak pernah merasa seperti itu, Dy?

Tidak. Jangan tergelak saat kau membaca surat pengakuan ini.

Baiklah, aku akan mengaku bahwa aku sering kali berkata-kata, memikirkan kata-kata manis, menjadikan dirimu sebagai tokoh utama. Sebagai salah satu karakter paling ideal. Tapi mungkin sebenarnya aku tak pernah menjadi tokoh yang selalu kauinginkan di kehidupanmu.

Bolehlah kaukatakan aku ini menyedihkan.

Tapi, kalaupun dengan menjadi menyedihkan begini membuat secuil atensimu tertuju kepadaku, aku rela.

Ah, sudahlah. Aku terlalu melantur ke mana-mana. Kuharap kau tetap membaca suratku . Mungkin ini adalah surat terakhir yang kutulis untukmu.

Semoga kau tidak gumoh saat membaca ini.

Tapi yang jelas, sekarang perasaanku begitu lega, Dy. Lega karena akhirnya bisa melepasmu. Lega karena ternyata hanya butuh waktu yang tak terlalu lama untuk mengusirmu dari relungku. Mungkin bayangmu masih sesekali mampir. Tapi tak lama. Kuakui bahwa aku merindukan momen-momen kita bersama. Momen yang menyenangkan. Rangkulan yang kita buat, dekapan yang selalu terasa hangat bahkan kadang membuatku sendiri merona, serta tatapan yang bisa melagukan perasaan. Tapi merindukanmu… entahlah. Aku tidak tahu apakah sekarang aku bisa merindukanmu, Dy.

Satu yang jelas, aku sadar bahwa perasaan manusia itu mudah sekali dibolak-balikkan oleh Tuhan. Padahal dulu aku merasa hatiku selalu akan selalu tersegel oleh pesonamu.

Sekarang aku bisa tersenyum, Dy.

Semoga kau bahagia.

Dan kau harus ingat, bahwa aku selalu menjadi temanmu.


Salam hangat,
Tri Saputra Sakti

Post a Comment

0 Comments