Laut Tak Bernama di Dalam Dada


I

Kamar ini masih menyimpan
bunyi koper yang kaubuka perlahan;
seperti membuka malam tanpa gugup
kau duduk tenang di ujung ranjang,
mengusap wajahmu dengan jemari yang tahu:
di mana letak lelah, di mana letak aku.

Aku menatap ranjang yang telah kaurebahkan tubuhmu
seolah matras pun enggan merapikan lipatan
bekas tubuhmu yang semalam mencumbu sunyi.

Kukenang caramu bersujud di cermin,
mencelupkan wajah ke serum dan pelukanku
dengan sikap laut:
tenang, dalam,
dan menyimpan ribuan kapal karam
yang tak kauceritakan.

Aku ingin bertanya,
adakah aku termasuk satu bangkai perahumu?

II

Aku tak pernah segan menulis rindu,
tapi padamu aku jadi bisu.
Tanganku melenguh di ponsel:
kalimat demi kalimat kuhapus
karena takut cinta ini tak sepadan
dengan seberapa sering kau menunda balasan.

Kau masih menjanjikan pertemuan
setelah aku berkelana.
Kaubilang aku tahu ke mana harus mencarimu.
Pernyataan itu tajamnya seperti bulan sabit
yang mencungkil harap dari relungku.

Aku akan pergi seminggu,
tapi bukan udara dingin atau pemandangan jauh
yang memenuhi koperku;
melainkan tubuhmu
yang tak sempat kuikat dalam peluk terakhir
dan matamu yang tak menengok saat aku berkata:
aku rindu, bahkan sebelum berangkat.

III

Kadang cinta terasa seperti debu halus
yang tertinggal di meja:
tak kasat mata, tapi menggumpal jika disentuh.

Dan kerinduanku padamu
adalah napas panjang yang tak pernah selesai
saat aku mengingat
bagaimana kau membungkuk,
melepas celana tidur dan perlahan menindihku;
dengan lirih, dengan diam,
dengan kerasnya nafsu yang tahu 
caranya menyamar jadi lembut.

Di tubuhku, kau tak berkata cinta,
tapi getaran di dadamu saat kulumat bahumu
mengajarkan bahwa kadang cinta tak butuh suara.

Namun kini
aku menjerit dalam diam,
menggigil di balik layar.
Berharap kau juga
menyimpan satu kedipan mataku
di antara notifikasi-notifikasi lain yang membanjirimu.

IV

Aku bukan laut.
Aku tak pandai menyimpan.
Aku hanya sebatang pohon di musim gugur
yang daunnya tak ragu runtuh
demi dipeluk angin, walau sebentar.

Aku merindumu,
tapi mungkin kau hanya
pantai yang membiarkan ombak datang
tanpa pernah bertanya.


Jakarta, 4 Juni 2025

Post a Comment

0 Comments