aku pernah disebut,
mungkin sekali,
mungkin saat kau butuh sesuatu
untuk mengisi hampa yang sementara.
lalu seperti noda kecil di tepi cermin
yang tak penting untuk dibersihkan,
aku dilupakan.
malam ini dingin,
bukan karena musim,
tapi karena dunia tak lagi mengenalku
sebagai seseorang yang patut ditunggu pulang.
kau tahu rasanya
menjadi halaman kosong
di buku yang tak pernah selesai ditulis?
begitulah aku—
sunyi yang tak punya naskah,
dan kalaupun ada,
itu cuma coretan yang malu-malu dipamerkan.
aku tak menangis.
air mataku telah dikeringkan
oleh hari-hari yang terus menggertakku:
cinta bukan untukmu.
dan aku percaya.
karena bukankah sejak awal
aku tak pernah sungguh diinginkan?
aku melihat orang-orang.
berpegangan tangan.
berbagi teh, berbagi mata,
berbagi hidup.
sementara aku
berbagi sunyi dengan dinding.
teman-temanku seperti bayangan
di kereta yang tak pernah berhenti di stasiunku.
aku bicara,
tapi hanya gema sendiri
yang menjawab tanpa empati.
aku mencintaimu
dengan tubuh yang luka dan pikiran yang tumpul,
tapi cinta ini tidak pernah sampai.
ia tersesat di jalan-jalan sunyi
yang bahkan Tuhan pun tak sudi lewati.
mungkin aku memang gagal.
bukan hanya sebagai kekasih—
tapi sebagai makhluk.
sebagai jiwa.
karena sekarang pun,
aku tak tahu
apa arti hidup
selain menunggu detik-detik
yang tak pernah membawa siapa-siapa pulang.
Jakarta, 6 Juni 2025
0 Comments