Kebenaran Tak Berujung

Pada Sabtu pagi yang basah, aku merangkai keberanian menemuimu. Tanpa mengabarimu, kulangkahkan kaki dengan sisa-sisa keyakinan. Aku yang sembiluan menikmati sensasi rasa sakit karena tidak sabar menatapmu lekat-lekat. Aku tahu hatiku perih saat merakit ketidakpastian akan reaksimu. Namun, aku yakin eksistensimu yang sibuk dengan dunia barumu sudah jadi anestesi untuk semua lukaku.

Dan, aku benar.


Sumber: Seekgif


Begitu lega rasanya menatapmu di ruang baru nan mungil yang masih asing bagiku itu. Ruangan mungil itu pernah jadi saksi peleburan kita beberapa minggu lalu. Sayangnya, kau menatapku nanar seolah aku rutinitas menyebalkan yang wajib kauhadapi. Hal itu yang membuat gempitaku runtuh seketika. Keberanianku seketika menciut saat tahu ciumanmu tak terasa. Asaku luruh saat kau jadi maneken saat aku memelukmu.

Matamu yang selalu ingin kuselami, pikiranmu yang selalu ingin kupahami, dan tanganmu yang selalu kukagumi... semuanya menjadi terasa asing. Aku bisa mengendus bau ketiak dan deodoran yang menyatu saat aku memelukmu. Bau yang familier, yang entah kenapa selalu bisa membuatku tenang. Akan tetapi, tidak hari itu. Tidak pada Sabtu itu. Bahkan kaki letihmu yang ingin kubuat nyaman saja menolak kehadiranku. Tiap gerakanmu berubah jadi menjadi aksi permusuhan.


Baca juga: 


Aku tidak tahu apakah pengkhiatan adalah kata yang tepat, tapi saat itu aku merasa begitu dikhianati. Kata-kata itu menusukku. Ketidakjujuran itu menamparku. Duniaku berubah menjadi hitam dan biru. Padahal sebelumnya sudah berwarna demikian, tapi saat kau yang membuatnya seperti itu, warna itu makin pekat, menyusup ke hati, meremukkan kepercayaanku pada sesuatu yang baik.

Beling.

Ternyata kau masih ingat aku pernah mengumpamakan hatiku seperti benda yang gampang pecah. Dan sekarang semuanya sudah hancur berkeping-keping. Cintaku padamu adalah hal pasti, tapi itu juga yang menyebabkan beling-beling itu berserakan dan sukar direkat. Cintaku padamu yang membuat hal itu terasa sakit.

Mungkin aku hanya butuh waktu sendiri dan menerima kenyataan. Begitu kata teman-temanku. Mereka juga bilang kalau waktu bisa menyembuhkan. Namun, tidak. Waktu mungkin akan meredakan luka yang kau sebabkan ini, tapi tidak menyembuhkan secara total. Sudah empat bulan dan aku masih begini, masih suka mengingat-ingat dirimu, perlakuan kejimu, bahkan lebih sering perbuatanmu yang baik. Semua itu masih bermuara pada hal sama: air mata yang mudah sekali menggenang di kelopakku.

Waktu tidak menyembuhkan secara total. Kehilangan orang yang dulu paling kaupercaya ternyata menimbulkan lubang yang tidak akan pernah bisa ditutup apa pun. Lubang yang membuatmu merasa kosong, bahkan saat aku seharusnya merasakan bahagia. Lubang itu kadang menguarkan bau apak dan busuk yang membuatku mual dan akhirnya jatuh lagi karena tidak kuat. Benteng pertahananku hanya sebatas air mata dan pelukan kencang pada guling abu-abu di kamar.


Baca juga:


Pelampiasanku selama ini juga beralih ke tontonan menyenangkan yang mestinya membuatku senang. Berengseknya, selalu kutemui bayangmu pada berbagai tokoh dan lakon dalam cerita itu. Persahabatan kita, kisah cinta kita yang dulu menggebu, rasa frustrasi karena kecemburuan yang membakar di awal rajutan itu, kesalahpahaman bodoh karena kita sama-sama keras kepala... semua lakon itu memainkannya dengan lihai dan bodohnya justru mengingatkanku akan dirimu.

Semestinya aku menerima kebenaran-kebenaran yang tidak berujung ini. Sayangnya itu sulit. Dan mungkin aku takkan pernah berhasil melakukannya.

Kau sendiri pernah bilang kau merasa heran kenapa dunia kadang kejam sekali terhadapku. Ternyata bukan cuma dunia, kau pun kejam terhadapku setelah tahu itu. 

Tiap kali aku membuka mata, tiap kali pikiranku kosong, pikiranku berkelindan, tertuju padamu. Kata teman-temanku, aku akan lupa rasa sakit ketika disibukkan banyak hal. Ya, aku mulai menyibukkan diri, tapi tetap saja aku tidak bisa lupa. Bahkan di tengah kesibukan itu selalu terselip rasa sakit saat mengingatmu.

Mungkin memang yang tersisa untukku hanyalah rasa sakit. Mungkin memang seharusnya aku tidak pernah merasakan keindahan itu, semestinya aku tidak mencicipi kebahagiaan bertemu denganmu. Kau kado terindah sekaligus kutukan untukku.

Beberapa orang berusaha hadir, menawarkan uluran tangan dan melakukan aksi-aksi pendekatan yang terasa hambar. Anehnya, perasaanku terhadapmu yang malah selalu tumbuh. Tawamu yang konyol justru selalu menjadi ninabobo pada malam-malamku yang tidak pernah tenang. Malam-malamku yang sunyi selalu terasa riuh karena pikiranku selalu berkelana menuju dirimu.


Baca juga:


Saat kuketahui banyak fakta dan kebenaran yang berbisik tanpa harus kuketahui, aku hanya bisa memeluk rasa sakit itu dengan lapang dada. Tidak, aku berusaha berlapang dada. Namun, sulit. Dan mungkin takkan pernah bisa.

Kadang saat aku goyah, rasanya ingin selalu berbagi kesedihan dan kemurungan itu pada seseorang, yang lagi-lagi mengingatkanku pada bayangmu. Atau sebenarnya aku hanya perlu mencari orang yang mau melihat semua kisah gelapku seperti awal kau bersikap terhadapku? Toh kau sudah mendapati seseorang yang kautangkap kesempurnaannya selagi bersamaku. Seharusnya aku merasa jijik dengan sikapmu, tapi entah kenapa lagi-lagi aku kalah terhadap perasaanku. Padahal aku semestinya tidak begini karena cintamu selalu bersyarat.

Selalu bersyarat.

Karena kau adalah sosok manipulatif yang sangat mengerikan. 

Terkadang, aku berharap aku tidak punya hati. Mungkin satu-satunya doa yang kupinta sekarang adalah suatu saat nanti aku bisa lupa. Aku berharap suatu saat nanti hatiku menjadi batu, bukan beling seperti ini. Dan kuharap... mesin Sarco bisa kubeli dengan segera.

Post a Comment

0 Comments