[44] Glaze by Windry Ramadhina


Seperti glasir di permukaan keramik, aku merasakanmu sepanjang waktu.
Mataku tak lelah menatapmu, diam-diam mengabadikan senyumanmu di benakku.
Telingaku mengenali musik dalam tawamu, membuatku selalu rindu mendengar cerita-ceritamu.
Bahkan ketika kita berjauhan, aku selalu bisa membayangkanmu duduk bersisian denganku.

Seperti glasir di permukaan keramik, kepergianmu kini membungkusku dalam kelabu.
Ruang di pelukanku terasa kosong tanpa dirimu.
Dadaku selalu sesak karena tumpukan kesedihan mengenang cintamu.
Bahkan ketika aku ingin melupakanmu, bayanganmu datang untuk mengingatkan betapa besar kehilanganku.

Aku menyesal telah membuatmu terluka, tapi apa dayaku?
Aku yang dulu begitu bodoh dan naif, terlambat menyadari kalau kau adalah definisi bahagiaku.


Glaze, Windry Ramadhina
Roro Raya Sejahtera, 396 halaman
ISBN 9786026074829


* * *


Saat adiknya meninggal, Kalle (baca: Kaeh) nggak tahu harus sedih atau gembira. Selama ini, pria itu selalu nggak suka eksistensi Eliot karena membuat dirinya nggak mendapat perhatian dari almarhum kedua orangtuanya. Namun, entah kenapa almarhum adiknya itu justru meninggalkan video berisikan pesan bahwa Kalle harus menjaga Kara, kekasih Eliot.

Dunia Kalle hanya berkutat pada bisnis. Dengan berbisnis, pria itu mengeringkan hatinya karena rasa kecewa akan keadaan, akan keberadaan Eliot yang selalu merebut perhatian. Sementara itu, dunia Kara hanya diisi oleh Eliot dan keramik. Saat Eliot yang berpenyakitan meninggal karena operasi, tentu dunianya runtuh.

Awalnya, Kalle memang hanya ingin membereskan barang-barang di rumah Eliot, bahkan hendak menjualnya. Namun sekonyong-konyong Kuas, kucing Kara, datang dan disusul majikannya. Dari situ, kisah mereka berlanjut.

Glaze merupakan novel roman dengan pace yang begitu lamban. Terus terang, aku agak tersendat-sendat saat membacanya. Lagi pula, bisa dibaca kan sinopsisnya yang sama sekali nggak membantu? Terlebih lagi, aku disajikan bahasa baku ala terjemahan yang membuat aku agak bingung saat membaca.

Meski demikian, Glaze menawarkan latar seorang seniman yang unik. Walau nggak sedetail penggambaran seorang pembuat keramik, aku seenggaknya bisa membayangkan saat membuat keramik dari apa yang Kara lakukan di novel ini.

Selebihnya, Glaze menyajikan gaya bahasa baku, yang mana bagiku aneh jika dibayangkan dengan latar Bogor dan Jakarta. Kalau berbahasa Sunda sih, aku masih bisa paham, hehehe. Namun, aku berusaha mengerti akan idealisme penulis. Padahal, saat membeli Glaze, aku ingin nuansa yang dihadirkan dalam novel Montase hadir. Sayangnya sama sekali nggak.

Paling mengecewakan adalah bagian akhir yang terkesan terburu-buru diselesaikan. Padahal sebelumnya aku harus membaca pace lamban dengan lebih daripada tiga ratus halaman. Ouch! Untunglah aku agak skimming beberapa bagian. Terakhir, aku terganggu dengan ilustrasi di dalam novel! Merusak imajinasi sosok Kalle dan Kara.

Untuk kisah Kalle dan Kara, meski beda dari yang lain, aku hanya bisa memberikan 2.5 bintang. Namun, tentu saja Glaze direkomendasikan untuk para penggemar novel Windry.

Post a Comment

0 Comments