Kepada Musa


Kepada
Sukma Musa Antaprawiradiredja 



Apa kabar, Mus?

Entah kenapa gue lebih suka memanggil lo Musa daripada Kinoy atau Sukma. Sukma kedengaran kayak perempuan, sementara gue tahu sebrengsek apa kelakuan lo. "Musa" juga salah satu nama favorit gue, yang mana menjadi karakter utama di salah satu cerita gue. Jadi, meski lo sering misuh-misuh kalau gue manggil lo Musa, gue bakalan tetap memanggil lo Musa.

Dulu, Friendster benar-benar media sosial yang beken. Dan obrolan pertama kita itu di sana. Karena gue pasang profil tentang Harry Potter, lo nge-add gue. Dari situ, kita berteman dan ternyata lo salah satu teman brengsek paling asyik diajak bercerita.

Kepergian lo membuat gue yakin bahwa kehidupan itu memang lucu.

Umur lo masih muda, cuma beda dua tahun sama gue. Namun, lo udah mendapat gelar bachelor dengan jurusan Biomedicine. Jurusan yang sama sekali nggak familier karena gue sendiri anak IPS dan kata "biomedicine" benar-benar asing di telinga gue. Yang gue tahu pada akhirnya adalah jurusan itu nggak ada di Indonesia—bahkan sampai saat ini.

Dan yang paling buat gue heran, apa sih Addison disaese itu? Gue memang sempat meng-googling apa itu, tapi kayaknya otak gue terlalu kerdil untuk paham apa itu. Satu yang buat gue paham, penyakit itu yang buat lo pergi lebih cepat, bergegas lebih cepat, dan tenang lebih cepat.

Lucunya lagi, sebelum lo benar-benar pergi, lo satu-satunya yang nemenin gue ngobrol banyak hal. Tentang hidup, tentang nggak boleh menyerah—masih terekam jelas saat itu gue belum kuliah dan masih jualan roti unyil, lo bilang gue bisa masuk PTN mana pun asal gue yakin, cerita soal prom nite sekolah gue yang nggak oke, tentang restoran all you can eat yang belum sempat kita datengin, tentang Harry Potter, tentang Jane Austen, tentang tulisan gue yang cheesy, dan... banyak hal.

Kemudian di akhir obrolan kita, tanpa sebab lo bilang lo takut. Lo bilang lo takut pencapaian yang lo dapat bakalan terenggus begitu saja. Saat itu gue memang nggak paham. Lo ngebahas soal bayi tabung, kemungkinan adanya penyakit Addison, dan yang buat gue nggak ngerti lo bilang nggak mau ngobrol lagi dan nggak bisa ditemuin beberapa saat. Lo bilang cuma Yahoo Messager yang bisa buat lo terkoneksi. Lalu, selama tiga minggu lo nggak ada kabar.

Sampai akhirnya ada SMS dari Indra yang bilang lo sudah pergi.

Musa, lo bukan laki-laki karena lo nggak menepati janji lo. Lo punya banyak utang yang belum sempat lo lunasin.

Lo belum pernah naik kereta ekonomi—sebelum ada Commuter Line seperti sekarang—ikut gue ambil roti unyil di Bogor.

Lo belum sempat ngasih gue action figure Harry Potter.

Lo belum sempat minjemin gue novel-novel klasik koleksi lo.

Lo belum sempat ngajarin gue bahasa Inggris.

Lo belum sempat untuk… bermacam-macam hal yang sayangnya nggak bakalan pernah bisa lo lakukan setelah lo pergi.

Saat menuliskan ini, gue cuma bisa mengembuskan napas keras-keras. Kematian itu memang aneh ya. Apalagi sebelumnya ketika lo terasa begitu dekat dengan seseorang. Lalu setelahnya orang itu nggak lagi ada dimensi yang sama dengan lo.

Gue tahu, lo pasti bakalan bilang kalau sepatutnya gue coba ubah sudut pandang, coba ngeliat dari sisi orang yang meninggalkan. Namun, lo juga harus tahu dari sisi orang yang ditinggalkan itu lebih berat. Even with hundred excuses, it still hurts.

Gue menulis surat ini juga sebagai penghormatan buat lo, Mus. Sudah delapan tahun lebih setelah lo pergi. Time flies like a blip, hm? 

Mungkin gue nggak bisa, bahkan belum pernah, ke Melbourne untuk menghadiri pemakaman lo. Gue hanya tahu dari kakak lo, Kak Aisha, yang memberitahu lo kabar ini. Tapi, gue yakin kita bakal bisa bertemu lagi dan selanjutnya gue bakal cabut kata-kata gue karena ternyata lo bisa menepati janji lo.

Masih kata-kata yang sama untuk mengakhir surat ini, Mus.

Lo itu sahabat yang lekat di hati. Un’amica cara nel cuore.



Salam hangat,
Tri Saputra Sakti

Post a Comment

0 Comments