[78] Fotografer Memori: Ketika Hidupmu Hanya Tersisa dalam Satu Foto

Pernah nggak kamu merasa pengin balik ke satu hari dalam hidupmu, bukan karena hari itu istimewa, tapi justru karena sederhana? Kayak sore waktu pulang sekolah, tawa teman yang masih terngiang, atau bau parfum orang kesayangan ketika memeluk kamu yang bikin dada terasa hangat. Hal-hal kecil yang nggak pernah masuk feed media sosial kamu, tapi diam-diam jadi jangkar ingatanmu di lautan waktu.

Sanaka Hiiragi menulis soal itu dalam Fotografer Memori. Premisnya sederhana, tapi bikin berpikir: setelah mati, kamu akan masuk ke studio foto. Di sana ada gulungan foto berisi seluruh hari yang pernah kamu jalani. Satu tahun, satu lembar. Kamu diminta memilih mana yang mau kamu simpan, serta dikasih kesempatan sekali untuk memotret ulang satu momen hidup yang paling berarti.



Studio itu dijaga oleh Hirasaka, fotografer misterius yang justru kehilangan foto hidupnya sendiri. Dari situ, cerita mengalir ke tokoh-tokoh yang mampir: nenek 92 tahun yang ingatannya pelan-pelan kabur, mantan yakuza yang keras di luar tapi lembut di dalam, sampai gadis mungil yang hidupnya direnggut terlalu cepat.


Kenangan yang Nggak Selalu Manis

Ketika membaca novel ini, aku menyadari satu hal: kenangan nggak melulu soal nostalgia manis. Ada juga kenangan yang bikin kita merasa sakit, merasa malu, atau bahkan merasakan penyesalan. Anehnya, kenangan-kenangan itu tetap punya tempat. Mereka bagian dari siapa kita sekarang.

Novel ini seolah mengajakku untuk duduk, membuka album lama, kemudian bilang, “Hei, nggak apa-apa kalau ada yang retak. Dari retakan itu, cahaya pun bisa masuk.”

Bahkan, beberapa kali aku berpikir:

  • Kalau dikasih kesempatan memotret ulang hidupku, hari apa yang bakal kupilih?
  • Apa aku bakal balik ke hari paling bahagia, atau justru ke hari aku gagal, biar aku bisa peluk diri sendiri yang dulu aku benci?
  • Hidup kayak apa sih yang layak disimpan dalam lentera kenangan?

Aku yakin tiap orang bakal punya jawabannya sendiri. Dan mungkin, itu alasan novel ini nggak cuma cerita, tapi juga cermin.

Singkat kata, Hiiragi menulis novel dengan bahasa sederhana dan nggak neko-neko. Dan karena itulah pesan-pesannya gampang masuk. Shout out buat penerjemah dan editornya yang bagus banget memoles novel terjemahan ini.


Menutup Buku, Membuka Kenangan

Begitu menutup halaman terakhir, rasanya kayak baru keluar dari studio Hirasaka. Ada keinginan aneh buat menggali arsip hidupku sendiri: mencari momen kecil yang mungkin selama ini terlewat.

Dan aku sadar, kalau suatu hari aku harus pilih satu kenangan buat kusimpan di lentera, aku nggak akan pilih hari paling spektakuler. Aku bakal pilih hari biasa—ketika aku duduk di kamar, mendengar lagu dari Google Nest, menghidu wangi kamarku yang nyaman, sambil memeluk orang terkasih. Dan kurasa, meski sebentar, hidup ini pantas untuk dijalani.

3/5 bintang



Di perbatasan antara hidup dan mati, berdiri sebuah studio foto tempat mereka yang akan menyeberang ke alam baka singgah untuk memilih kenangan semasa hidup dan merangkainya dalam lentera kilas balik yang akan mereka saksikan sebelum melanjutkan perjalanan.

Bersama Hirasaka, sang pemandu muda tanpa memori sedikit pun, para tamu dapat mendatangi kembali kenangan yang telah memudar dan mengabadikannya dengan kamera. Hagi Yatsue, seorang wanita 92 tahun, sangat ingin melihat sebuah bus yang penuh makna baginya sekali lagi. Sementara Waniguchi Shohei, seorang anggota yakuza, ingin mengunjungi Malam Natal tak terlupakan bersama bawahannya dan seorang anak SD.

Tamu demi tamu singgah silih berganti, tetapi tak satu pun dari mereka orang yang pernah mengenal Hirasaka. Namun dalam hati, ia tak pernah berhenti berharap mungkin kelak salah satu dari mereka dapat memberinya petunjuk tentang siapa dirinya….


Fotografer Memori, Sanaka Hiiragi

Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Agustus 2025

Penerjemah: Anggi Virgianti

Editor: Kartika E.

9786020684611


Post a Comment

0 Comments