I
Kau datang
dengan angin yang mengantarkan malam
ke sela-sela jemariku yang belum siap menyentuh siapa pun.
Gesturmu tenang,
tapi seluruh semestaku seketika tak damai.
Tak banyak kata,
hanya sepasang mata yang saling menyimpan
luka lama yang tak ingin dibahas.
Lalu tubuhmu menyentuh tubuhku
seperti puisi amatir yang tak perlu dirapikan;
berantakan asalkan terasa.
Kau membungkam segala tanya
dengan ciuman tanpa jeda.
Seperti sungai yang tak sempat mengendap,
kau mengalir deras
melewati semua batas
yang sebelumnya kujaga rapi.
Malam itu,
kau menelusuri tubuhku
dengan lidah yang hafal doa
tanpa perlu dibacakan ulang.
Dan aku bergetar.
Bukan karena dingin,
melainkan karena baru kali ini
ada yang mengucapkan namaku
dari ujung jemari
hingga pangkal dada
tanpa suara.
II
Kita melebur dua kali.
Pertama,
saat kau berada di atas
dan dunia seakan meluruh dalam deru napasmu
yang tak sabar.
Lenganku mengunci bahumu,
seolah aku ingin tinggal dalam dirimu
lebih lama dari yang semestinya.
Kedua,
saat kau memintaku mengambil kendali,
dan malam terasa seperti pagi
yang kehilangan waktu.
Kau pun menggigil.
Bukan karena takut,
tapi karena percaya.
Dan aku,
yang biasanya gemetar karena khawatir,
kali ini gemetar karena diminta
untuk memimpin jalan pulangmu
dari dalam tubuhku sendiri.
III
Kau bercerita setelahnya,
tentang pekerjaan, tentang kota-kota membosankan,
juga tentang kesepian yang datang bahkan di keramaian.
Dan aku mendengarkan,
seperti orang yang mencintai diam-diam:
tidak banyak bertanya,
tapi menyimpan semua detailmu
di tempat yang takkan sempat kautengok.
Paginya,
kau bergegas,
menyisakan tempat tidur yang masih hangat,
tapi terasa lebih dingin daripada pagi sebelumnya.
Kaubilang ada rapat mendadak,
dan aku hanya mengangguk
seperti laki-laki yang tahu
tak boleh berharap terlalu lama
pada sesuatu yang datangnya begitu cepat.
IV
Kini ranjangku telah rapi kembali,
tapi lipatan sprei masih mengingat punggungmu.
Bantalku pun wangi tengkukmu.
Dan tubuhku
masih menyimpan lembutnya panggilanmu
saat kau menahan erang
di antara lenguh yang pelan-pelan berubah menjadi ikrar
yang tak pernah benar-benar diucapkan.
Aku mencintaimu,
bukan karena kau menjanjikan apa pun,
tapi karena kau membiarkan aku runtuh
di atas tubuhmu
tanpa merasa harus diselamatkan.
Dan mungkin,
itulah bentuk cinta paling sunyi
yang bisa kumiliki:
melebur bersamamu,
lalu dibiarkan membeku
sendiri.
Jakarta, 3 Juni 2025
0 Comments