Nyai Ontosoroh

Tadi pagi gue baru aja menyelesaikan novel Bumi Manusia. Novel yang pernah gue baca saat masih SMP (atau SMA, ya?). Ternyata umur memang bisa memengaruhi persepsi seseorang karena sensasi gue setelah baca novel ini saat itu dengan sensasi gue barusan baca, benar-benar berbeda.

Tadinya gue berpikir untuk menulis resensi novel di blog gue yang satunya lagi. Tapi, entah kenapa yang jadi pikiran gue cuma rasa iri terhadap sosok fiksi bernama Nyai Ontosoroh. Rasa iri yang tepercik saat membaca kisahnya di awal cerita Bumi Manusia. Rasa iri yang terus berkelindan saat menamatkan novel itu. Jadi, rasanya nggak mungkin gue bikin resensi yang isinya rasa iri sekaligus kekaguman terhadap Nyai Ontosoroh, kan?


Sumber: geotimes.co.id


Mungkin ada yang bertanya, kenapa bukan sosok Minke yang mana tokoh sentral dalam novel itu gue menjatuhkan rasa iri. Sosok Minke yang merupakan pribumi memang menarik perhatian, tapi rasa iri itu nggak juga terbit meskipun dia diceritakan sangat cerdas dan juga pandai menulis, bahkan sampai dipuji guru bahasanya. Memang rasa iri itu ada, tapi nggak terlalu besar. Mungkin sebatas rasa iri akan kegigihan Minke menulis di sela-sela kejadian yang melelahkan. Lantas, kenapa bukan Annelies? Aduh, buat apa iri terhadap sosok perempuan itu? Nggak mungkin gue iri akan kecantikannya, kan? Mungkin ada rasa iri karena dalam usia mudia dia begitu cerdas dalam menjalankan perusahaan yang didirikan ayahnya dan dididik ibunya.

Yang jelas, porsi iri hati yang besar tertuju pada Sakinem, yang lebih dikenal sebagai Nyai Ontosoroh.

Dalam Bumi Manusia, saat Annelies menceritakan masa lalu Sakinem, ibunya, kenapa bisa menjadi seorang nyaisebutan gundik pada masanyakepada Minke, gue tertegun. Memori gue seolah dibangkitkan kembali akan sosok ini. Gue memang masih ingat bayangan sang nyai dalam novel itu: sosok tegas, berkemauan keras, juga bermental baja.

Kepribadiannya lahir karena masa lalunya yang pahit. Saat masih kecil Sakinem begitu mengidolakan sosok sang ayah, yang kerjanya begitu rajin. Ayahnya bermimpi untuk jadi kasir, pemegang kas di dalam perusahaan seorang Belanda. Namun, sudah lima tahun lebih kenaikan pangkat itu nggak kunjung datang. Sampai akhirnya kesempatan itu hadir dengan cara sang ayah mesti menjual Sakinem kepada bosnya.

Baru berumur empat belas tahun, Sakinem pun dijual. Kenaikan pangkat ayahnya harus ditebus dengan penyerahan Sakinem sebagai gundikatau perempuan simpananseorang Belanda yang memiliki perusahaan di tanah Jawa sekaligus bos ayahnya.


Sumber: cantik.tempo.co


Rasa sakit hati itu membuat Sakinem menyadari kalau dia nggak boleh bergantung pada satu pun manusia, bahkan ayah kandungnya sendiri. Bukan hanya terhadap ayahnya, terhadap ibunya pun dia sakit hati karena ibunya sama sekali nggak membela Sakinem saat ayahnya "menjual" dirinya. Sakinem bersumpah nggak mau berhubungan lagi dengan keluarganya. 

Dengan berani beliau lebih suka disebut nyai karena beliau memang seorang gundik dari Herman Mallema, bos perusahaan tempat ayahnya bekerja. Bahkan di awal hubungannya dengan Herman Mallema, dia bagaikan maneken pemuas berahi pria tersebut. 

Namun, lambat laun hubungan Herman Mallema dengan Nyai Ontosoroh membaik, dan di situlah sang nyai merasakan adanya kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri. Dia belajar banyak dari Herman. Dia bukan sekadar nyai rendahan yang pemahaman pola pikirnya rendah. Dialah nyai yang memiliki akhlak dan kesopanan melebihi bangsa Eropa kala itu. Bahkan mungkin, kepribadiannya di atas rata-rata orang Eropa kalau menurut orang-orang yang mengenal sang nyai.

Dengan apa yang bisa dilakukan, Nyai Ontosoroh makin yakin dia nggak perlu berhubungan lagi dengan keluarga yang telah menjualnya. Padahal Herman Mallema pernah memohon sang nyai untuk menemui ayahnya. Namun, usaha itu sia-sia. Dia nggak sudi berada dalam hubungan beracun yang pernah menjeratnya. Dengan berani Nyai Ontosoroh memutus hubungan toxic meskipun itu keluarganya sendiri.

Mungkin keberanian itulah yang bikin gue iri. Keberanian seorang gundik yang memutus hubungan beracun. Dia nggak memberikan kesempatan lagi pada orang yang udah membuat hati dan jiwanya hancur. Dia nggak memberikan kesempatan kedua. Dengan yakin dia mumutus rantai tersebut. Keberanian itu, bukankah susah banget didapatkan? Gue sendiri biasanya selalu memberikan "kesempatan kedua" yang mungkin aja bisa mengakibatkan kekecewaan. Gue merasa iri bagaimana seorang nyai bisa yakin memotong hubungan toxic hanya dalam sekali kesempatan hidup. 

Dan mungkin ketekunannya belajar juga menjadi rasa iri gue terhadap sosok fiktif ini. Dia juga belajar tata niaga, bahasa Belanda, bahasa Melayu, membaca media Belanda, serta belajar budaya dan hukum Belanda. Meskipun seorang gundik, Nyai Ontosoroh berjalan dengan tegaptanpa takut apalagi ragu. Mirisnya, meski sudah menjadi sosok karismatik, dia nggak mau dipanggil nyonya, dan baginya memang dialah seorang nyaijadi sebut dia "nyai". Dia bakalan mengoreksi kalau ada yang memanggilnya dengan sebutan lain.

Nyai Ontosoroh memeluk fakta itu tanpa mesti berlari atau berpaling karena malu. Dia mengakui bahwa dirinya memang sekadar gundik, yang bahkan hubungannya nggak pernah diakui oleh sistem hukum Belanda. Tentu, karena dia pribumi. Juga gundik.

Jadi rasa-rasanya gue nggak salah kalau bisa iri dengan sosok fiktif ini. Kalaupun gue jadi Minke yang pertama kali melihat sosok Nyai Ontosoroh yang sudah didesas-desuskan sebelumnya, mungkin gue bakal melongo kayak orang bloon. Gue yakin aura sang nyai amatlah besar, begitu karismatik.

Omong-omong, membicarakan soal novel Bumi Manusia, lewat novel inimungkin juga dalam Tetralogi Buru yang lainPram menggambarkan kondisi saat-saat kolonialisme Belanda. Beliau menyisipkan latar pada masa-masa itu di dalam tulisannya, yang mana menjadikan novel ini sebagai salah satu referensi sejarah meskipun fiktif. Buat yang belum baca, gue amat sangat merekomendasikannya.

Sebenarnya gue jadi penasaran juga, apakah Sha Ine Febriyanti bisa memainkan Nyai Ontosoroh dengan ciamik atau nggak di dalam filmnya. Soalnya sosok yang terbayang saat baca novel tuh selalu Happy Salma (yang pernah juga jadi Nyai Ontosoroh meskipun bukan dalam lakon movie). Gue sendiri agak ambyar imajinasinya sama sosok Minke yang diperankan oleh aktor Dilan. Juga... soal kostum yang dulu sempat gempar di media sosial.

Untuk filmnya sendiri, meski udah tayang di bioskop, belum ada keinginan menonton karena takut kecewa. Tapi kayaknya patut dipertimbangkan bagaimana orang filmnya mengeksekusi novel sastra ini. Dan tentu penasaran sama sang nyai versi "hidup".


Post a Comment

0 Comments