[48] Absolute Justice by Akiyoshi Rikako



Seharusnya monster itu sudah mati ....


Absolute Justice, Akiyoshi Rikako
Penerbit Haru, 268 halaman
ISBN 9786025186011


* * *



Dulu, saat kuliah, aku sempat mendengar celetukan seorang pengamen: "Jadi orang baik itu gampang, yang susah itu jadi orang benar." Sampai saat ini, aku merasa perkataan itu benar. Menjadi baik belum tentu benar, dan jadi benar memang belum tentu baik. Derajat "benar" juga di atas "baik". 

Ajaibnya, saat membaca novel ini, aku merasa harus meredefinisi kata "baik" dan "benar" lagi. Dari judulnya, sebenarnya kita bisa menebak-nebak tentang apa novel Akiyoshi Rikako ini; yang mana sinopsisnya cuma kalimat itu doang.

Novel ini menceritakan tentang geng cewek waktu SMA yang terdiri atas Kazuki si bongsor yang tomboi, Yumiko si kalem, Riho si pandai, dan Reika si cantik. Tadinya mereka hanya berempat, sampai tiba-tiba ada anak baru bernama Noriko datang. Mereka berempat pun mengajak Noriko untuk bergabung dengan kelompok mereka. 

Dan ternyata Noriko adalah cewek justice-freak. Dia sempat menolong Kazuki yang dilecehkan secara seksual di bus, melapor siswa sekolah yang ketahuan merokok, bahkan ngaduin teman yang main surat-suratan di kelas. Mungkin terdengar wajar dan lumrah, tapi aksi Noriko ini lebih daripada itu. Empat cewek tadi pun berasumsi kalau Noriko ini pun normal-normal saja dan patut ditiru. Di antara mereka berempat, yang merasa eksistensi Noriko terasa aneh adalah Kazuki.

Sampai akhirnya mereka lulus SMA dan nggak pernah saling kontak lagi. Lalu beberapa tahun kemudian mereka ikut reunian. Mereka yang sudah pada punya karier dan kisah masing-masing pun harus bertemu Noriko. Semuanya pun jadi makin pelik.


Dari semua karya Akiyoshi Rikako, aku paling suka Girls in the Dark. Dan Absolute Justice ini juga jadi novel favoritki. Meski lebih predictable, aku suka sesuatu yang berusaha penulis tuangkan dalam novel ini.

Lantas, kenapa aku harus meredefinisi antara baik dan benar? Punchline-nya sih ada di kutipan ini:

Riho baru menyadari bahwa 'seratus persen benar', tanpa ada rasa toleransi dan kemanusiaan, ternyata bukanlah hal baik.

Sebaiknya kebenaran dan kebaikan memang dipakai dengan kadar yang tepat. Namun, untuk memutuskan tepat atau nggaknya, mungkin bukan kuasa kita sebagai manusia yang bisa menentukan!

Tentu saja 4 bintang penuh dariku! 

Post a Comment

0 Comments